Laman

September 18, 2016

(FF) Four Seasons (One Shot)


Title : Four Seasons
Length : One Shot
Genre : Drama, Medical Drama, Sad Story
Cast : IKON Goo Jun Hoe
IKON Kim Dong Hyuk
Lee Sung Kyung
Lee Ji Sun (OC)


Sinar matahari di sore hari di musim semi tahun ini terasa sangat hangat. Warna emasnya terpantul indah melewati jendela kaca yang ditutupi gorden transparan di salah satu kamar pasien vvip di Rumah Sakit Asan Medical Center. Kamar pasien vvip ini terlihat sangat terang perpaduan antara cat biru langit dan sinar matahari yang keemasan. Di sisi kanan ruangan terdapat buffet putih yang diatasnya penuh dengan buah – buahan dan berbagai bunga segar berwarna – warni. Diatas tempat tidur, seorang perempuan berambut lurus sebahu berusia 25 tahun mengenakan piyama bertuliskan Asan Medical Center sedang duduk bersila sambil memainkan ponselnya.

“Sreeek.....” Pintu kamar VVIP itu terbuka, seorang dokter lengkap dengan jubah putih dan kacamata dengan frame bulat dan membawa sebuah catatan tersenyum menghampiri pasien tersebut.

“selamat sore, kau sudah baikan?” dokter yang bernama Kim Donghyuk itu tersenyum sambil mengecek infus yang menempel dilengan kanan pasien perempuan itu.

“Uisa-Nim, aku tidak sakit. Aku bahkan bisa melompat dan berlari, tapi kenapa aku terus saja disini?” pasien perempuan itu terlihat frustasi sambil menggerakan kaki dan tangannya seperti gerakan berenang.

“Sepertinya semuanya normal, aku akan kembali nanti malam bersama profesor Goo. Permisi.” Dokter kim tersenyum sambil menyelesaikan catatannya lalu meninggalkan kamar pasien tersebut.

“Yaaaa!!!! Aisssh, orang – orang disini tidak ada yang mendengarkanku.”

*

GYO SU GOO JUN HOE tulisan dipapan kaca yang berdiri gagah diatas meja yang penuh dengan kertas, alat tulis dan dua buah layar besar komputer. Seorang lelaki duduk dibelakang meja tersebut. Matanya memandangi salah satu layar komputer dihadapannya. Dagunya bersandar pada kepalan tangannya sementara pikirannya jauh melayang.

“oppa! Kau benar mau meninggalkanku?” perempuan dengan rambut kuncir dua duduk dihadapan lelaki yang memasang raut wajah sedih.
“JiSun-ah, oppa harus melanjutkan kuliah kedokteran, tunggulah oppa 5 tahun lagi, aku janji aku akan kembali.”  Lelaki dihadapan JiSun menggenggam kedua tangan JiSun yang dari tadi berada diatas meja.
“JunHoe oppa, kita akhiri saja. Aku pikir tidak ada gunanya jika hubungan ini terus dilanjutkan. Aku tidak bisa menunggumu atau tinggal jauh darimu. Mianhaeyo.” Jisun bangkit dari tempat duduknya bersiap untuk meninggalkan junhoe dan cafe yang terlihat sangat sepi malam ini.
“Jisun-ah, jebal kajima. Hanya 5 tahun.” Junhoe meraih pinggang jisun, memeluknya hangat berharap kekasihnya itu tidak pergi dan mengakhiri hubungan mereka.
“itu terlalu lama oppa.” Bibir jisun bergetar. Matanya sembab menahan air mata agar tidak jatuh melewati pipinya.

“boleh aku masuk?” seorang perempuan berambut coklat dengan lipstik merah menyala tersenyum lebar membuyarkan semua lamunan junhoe.

“ah Sungkyung noona, masuklah.” Junhoe bangkit membetulkan jas putih yang ia pakai.

“kau tidak keluar dari ruanganmu sejak pagi tadi, ini sudah hampir jam 6 sore, kau tidak lapar.” Sungkyung mengeluarkan beberapa bungkus makanan dari papper bag yang ia bawa. “Mokgo.” Sungkyung tersenyum memberikan sumpit kepada Junhoe yang merupakan Juniornya sewaktu kuliah di Amerika.

Junhoe menatap makanan yang berada diatas mejanya. Ia mengangkat sumpit lalu melahap beberap telur gulung yang dibawakan oleh Sungkyung.

“Bagaimana dengan Ibu pasien di ruang vvip itu? sudah bersedia untuk melakukan operasi. Cara satu – satunya hanya operasi.” Sungkyung melipat tangannya didepan dada lalu bersadar dikursinya.

“aniyo, ibunya belum setuju untuk operasi.” Jawab Junhoe datar. Ia mengambil botol air mineral di hadapannya, membuka tutupnya lalu meneguk isinya.

“aku hanya takut tumornya terus menyebar. Sudah setahun ia dirawat dan tumornya terus membesar. Aku hanya takut dia tidak tertolong.” Sungkyung menatap junhoe yang matanya kembali ke salah satu layar komputer di hadapannya.

*

“Donghyuk-ah, kau sudah memeriksa pasien di kamar vvip hari ini?” goo jun hoe berjalan keluar dari ruangannya diikuti oleh kim donghyuk dibelakangnya.

“sudah gyosu-nim, tekanan darahnya normal dan nafsu makannya bertambah. Aku sudah menambahkan obat penghilang rasa sakit dalam cairan infusnya.” Donghyuk terus berjalan mengikuti junhoe yang berada didepannya.

“kau sudah melakukan ct scan hari ini?” junhoe menghentikan langkahnya sebelum masuk kedalam kamar vvip.

“be.... belum.” Jawab donghyuk membetulkan kacamatanya.

“wae?”

“pasien Lee Ji Sun menolak untuk melakukan CT Scan hari ini.” Goo Junhoe membuka pintu kamar vvip selesai donghyuk menjawab pertanyaannya.
Junhoe menghampiri Ji Sun yang sedang terlelap. Disebelahnya ada seorang wanita paruh baya dengan rambutnya yang sebagian berubah putih. Selama 1 tahun Ji Sun dirawat di rumah sakit ini, wanita paruh baya yang juga ibunya itu selalu menemani Ji Sun tanpa terlewat satu hari pun.

“Kita harus melakukan CT Scan.” Ucap Junhoe memperhatikan botol infus yang baru saja diganti oleh salah satu suster yang ikut dengan dirinya dan donghyuk.

“aku tidak mau.” Ji Sun yang yang ternyata tidak tidur menolak lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Ya, kau harus CT Scan hari ini, sudah 3 hari ini kau menolak CT Scan.” Junhoe menghela napas panjang dan berusaha agar nada suaranya tidak tinggi.

“Kajja.” Donghyuk membuka selimut Jisun setelah menyiapkan kursi roda.

“aku tidak mau CT Scan, aku tidak mau di infus. Eomma ayo kita pulang dari sini. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus dirawat disini. Aku tidak sakit eomma. Aku sehat, kau melihatku kan? Eomma aku bosan dirumah sakit, hampir 1 tahun aku disini dan aku hanya di infus dan tidur disini. Aku bisa diinfus dan tidur dirumah. Aku merindukan teman-temanku eomma!!!”  Jisun membuka jarum infus ditangannya, ia berteriak lalu turun dari tempat tidurnya. Ia membereskan semua barang-barangnya lalu menarik ibunya untuk pergi.

“Jisun-ah, dengarkan Eomma, kau harus tetap disini sampai kau benar-benar bisa pulang. Kau lupa ingatan Jisun-ah. Tolong dengarkan Eomma sekali ini saja.” Mata wanita paruh baya itu berkaca – kaca. kedua tangannya meremas kedua pundak anak perempuannya. Ia seakan sudah lelah dengan keadaan yang ia lalui selama 1 tahun terakhir.

“eomma, aku ingat semua yang aku lakukan selama ini. Aku bahkan ingat aku, kau dan appa pergi piknik kerumah nenek di pulau Jeju 15 bulan lalu. Aku ingat semua yang aku lakukan selama ini, eomma.” Jisun berusaha mengingat semua yang sebelumnya ia lakukan, namun tiba – tiba ia terdiam. “tapi, dimana appa? Kenapa selama 1 tahun ini dia tidak pernah datang, dia melupakanku?” air mata ibu jisun mengalir deras mendengar pertanyaan anak perempuannya. Tangan keriputnya mengusap wajah cantik anaknya.

“menurutlah pada Goo Gyosu-nim, kau harus CT Scan sekarang.” Jisun Eomma menghapus air mata yang jatuh dipipinya. Sementara Jisun menurut untuk melakukan CT Scan.

*

“kita harus segera mengoperasi Jisun. Tumornya terus membesar dan menghambat kerja otaknya. Tumornya tumbuh disekitar saraf ingatannya. Bahkan Jisun sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi setahun yang lalu. kita harus segera mengambil tindakan.” Goo Junhoe menjelaskan apa yang sedang dialami Jisun kepada Ibu Jisun diruangan miliknya.

“katakan pada Jisun sejujurnya, aku tidak ingin kau menanggung bebanmu sendiri. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk operasi ini walaupun aku tidak menjamin hasilnya akan baik – baik saja.” Junhoe menatap nanar mata Ibu Jisun yang sembab. Wajahnya terlihat sangat lesu bagai mendengar petir yang menyambar langsung telinganya.

“tapi kenapa Jisun masih terlihat sangat sehat, Gyosu-Nim?” tanya Ibu Jisun dengan suara bergetar.

“itu karena ia tidak tahu apa penyakitnya, dan karena obat penghilang rasa sakit yang ia konsumsi juga dosisnya tepat. Dia bahkan tidak mengingatku sama sekali...” suara Junhoe menghilang diakhir kalimat yang ia ucapkan.

“Aku hanya tidak ingin Jisun meninggalkanku, seperti ayahnya yang pergi meninggalkan aku dan Jisun sendirian.” Tangan wanita paruh baya itu bergetar mengucapkan bisikan kesedihan yang ia pendam selama ini.

*

Akhir musim semi kali ini terasa sangat hangat. Semua orang di Asan Medical Center sibuk dengan kegiatannya masing – masing. Pasien datang dan pergi seperti nafas yang terus mengalir didalam tubuh manusia. Profesor Goo Junhoe sedang berdiri di lantai dua dari balik kaca yang menghadap ke taman belakang rumah sakit tersebut. Matanya tertuju pada Jisun yang duduk dikursi taman sambil memainkan tangannya dengan cahaya matahari sore yang terpantul. Wajah Jisun terlihat sangat ceria, terkadang ia terlihat menyapa pasien – pasien anak kecil yang melewatinya menggunakan kursi roda.

“oppa, kenapa kau menyukaiku? Umur kita bahkan terpaut 8 tahun.” Jisun merangkul lengan Junhoe yang berjalan disebelahnya dengan syal abu – abu melingkar dilehernya.
“ehm, molla.” Jawab junhoe dengan asap mengepul dari mulutnya. Udara terasa sangat dingin karena musim dingin baru saja dimulai.
“ish, setidaknya ada satu hal yang membuat kau menyukaiku.” Jisun menghentikan langkahnya lalu berdiri didepan Junhoe yang tersenyum menatapnya. “malhaeyo oppa, aku akan mati penasaran jika kau tidak menjawabnya.” Jisun menarik coat coklat yang dikenakan Junhoe, terlihat seperti anak kecil namun sangat menggemaskan menurut Junhoe.
“ehm, karena kau lincah seperti anak kecil ahh, entahlah.” Junhoe sedikit berpikir lalu mengusap rambut Jisun yang tertutup beanny head merah.
Wajah Jisun memerah mendengar Jawaban Jisun, Ia tersipu malu namun dengan sigap Junhoe meraih telapan tangannya lalu memasukannya kedalam saku coat coklatnya dan pergi meninggalkan malam pertama di musim dingin itu.

“dia terlihat sangat ceria, tidak menunjukan jika ia sedang menderita sakit yang sangat mengerikan.” Lagi – lagi Sungkyung menghancurkan ingatan Junhoe dengan Jisun. Junhoe hanya terdiam dan terus menatap Jisun yang berjalan kembali kearah kamarnya ditemani Donghyuk yang menghampirinya.

“kau sudah berbicara pada ibunya tentang operasi?” tanya sungkyung menatap wajah juniornya itu.

“ibunya belum menyetujui tentang operasi Jisun.” Jawab Junhoe diakhiri dengan menghela napas panjang.

“ibunya masih trauma dengan kejadian ayahnya  1 tahun yang lalu, kala itu aku gagal mengangkat kanker di sum – sum tulang belakangnya. Aku benar – benar menyesal.” Sungkyung menatap keluar kaca di rumah sakit itu.

“itu bukan sepenuhnya salahmu, kita adalah dokter yang selalu berhubungan dekat dengan kematian. Jika takdir menentukan pasien kita meninggal, biar pun usaha kita 200 % pasien itu akan tetap meninggal.” Junhoe menggenggam pundak Sungkyung. Sungkyung menyunggingkan sudut bibirnya.

*

“Kim Songsae-nim, kenapa kau memilih untuk menjadi dokter?” Jisun bertanya kepada Donghyuk yang sibuk mengganti botol infus miliknya.

“aku ingin menyembuhkan semua orang.” Jawab Donghyuk tersenyum.

“jawabanmu sama seperti seseorang yang pernah aku tanyakan tapi entahlah aku lupa.” Jisun mencoba berpikir namun ia merasakan sakit di kepalanya tiba – tiba.

“kau jangan berusaha mengingat dulu, kau akan mengingat seluruh hal yang pernah kau lakukan jika kau setuju untuk dioperasi.” Donghyuk refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia sadar harusnya ia tidak mengatakan hal tersebut pada jisun.

“o.. operasi? Sebenarnya aku sakit apa Kim-Ssaem? Apa... apa penyakitku sangat parah?” jisun mencecar donghyuk dengan berbagai pertanyaan namun sakit di kepalanya terasa semakin parah. Jisun berteriak memegangi kepalanya sementara donghyuk menyuntikan obat penghilang rasa sakit dan langsung menghubungi Profesor Goo Junhoe.

*

“Kita tidak ada pilihan lain, kita harus segera mengoperasinya. Kim Songsae segera siapkan ruang operasi. Kita tidak ada waktu lagi.” Junhoe mencoba menghubungi Ibu Jisun menggunakan ponselnya.

“Ba.. baik.” Donghyuk berlari menuju ruang operasi.

“kau yakin akan mengoperasinya sekarang?” tanya Sungkyung yang dari tadi ikut mencoba menghubungi ibu Jisun.

Tak lama wanita paruh baya itu menghampiri Junhoe dan Sungkyung. Matanya sembab mendengar anak perempuannya merasa kesakitan dan dibawa ke ruangan ICU.

“Kita harus melakukan operasi malam ini juga.” Ucap Junhoe tegas kepada ibu Jisun.

Ibu Jisun menghela napas panjang, “berapa presentase untuknya agar tetap hidup?”

“50%.” Jawab Junhoe pelan. Tangis ibu Jisun pecah mendengar jawaban dari Junhoe. Sungkyung yang tidak ingin kejadian 1 tahun lalu terjadi kembali memeluk tubuh renta wanita paruh baya itu.

“ini lebih baik dibanding ia harus merasakan sakit dan meminum obat penghilang rasa sakit yang dapat merusak ginjalnya.” Junhoe melanjutkan.

“aku akan berusaha semaksimal mungkin walaupun sulit.” Junhoe menggenggam pundak wanita renta itu lalu pergi menyusul Donghyuk ke ruang operasi.

“kau ingin jadi apa 10 tahun lagi, Jisun-ah?” Junhoe memberikan segelas kopi hangat kepada perempuan yang dari tadi duduk didepan air mancur ditengah kota Seoul. Daun – daun coklat yang berguguran menandakan musim gugur sudah kembali.
“ehm, 10 tahun lagi aku akan menjadi instri yang baik untuk Dokter Goo Junhoe tercinta.” Jisun meletakan kepalanya dipundak Junhoe yang duduk disebelahnya.
“aish, kau benar – benar tidak punya cita – cita.” Junhoe sedikit berkelakar.
“itu cita – citaku, oppa.” Jisun menyeruput kopinya. “lalu kenapa kau ingin jadi dokter?” tanya Jisun menatap wajah kekasihnya.
“aku hanya ingin menyembuhkan orang – orang yang sakit agar mereka selalu bersama dengan orang – orang yang mereka sayangi.”
“ah, tapi kematian ‘kan tidak dapat dihindari.” Sahut jisun sedikit heran dengan jawaban junhoe.
“setidaknya dokter berusaha untuk memperpanjang umur pasien walaupun hanya 1 detik.” Junhoe tersenyum menatap wajah kekasihnya itu.

*

10 Jam sudah Junhoe, Donghyuk dan seluruh dokter yang menangani operasi Jisun berkutat diruang operasi. Operasi yang rumit membuat waktu yang terlewati juga sangan lama. Diruang tunggu keluarga pasien, Ibu Jisun ditemani Profesor Sungkyung terus memanjatkan doa agar operasi anak perempuannya itu lancar dan Jisun kembali mengingat apa yang telah ia lakukan selama 25 tahun ini.

Jam menunjukan pukul 4 pagi, sudah 12 jam berlalu. Sungkyung yang baru datang dari kantin rumah sakit memberikan segelas kopi hangat untuk ibu Jisung. Tidak ada kata yang terucap dari bibir Ibu Jisung, hanya senyum yang sepertinya sulit ia tarik saat ini.

Pintu ruang operasi terbuka, Junhoe keluar masih dengan pakaian operasinya. Ia melangkah menghampiri Ibu Jisung dan Sungkyung yang sejak 12 Jam yang lalu menunggunya.

“Operasinya berjalan lancar, tumornya juga sudah berhasil kami angkat. Kami akan memastikan kondisinya ketika ia sadar nanti. Kami akan terus memantau kondisinya.” Goo Junhoe memberikan keterangan hasil operasinya lalu pergi meninggalkan Ibu Jisun yang menghela napas panjang karena lega operasinya telah selesai.

*

“dokter Kim, apakah pasien Jisun sudah sadarkan diri?” Sungkyung menghampiri Donghyuk yang baru saja keluar dari ruang ICU tempat Jisun dirawat.

“belum, Gyosu-nim. Entahlah sudah 1 minggu pasien Kim Jisun belum sadarkan diri.” Jawab donghyuk melirik kearah tubuh jisun yang dipenuhi selang – selang pernapasan dan lainnya.

“aku benar – benar tidak yakin.” Gumam Sungkyung lalu pergi meninggalkan ruang ICU menuju ruangan Goo Junhoe.

*

“apa yang akan kau lakukan?” sungkyung memperhatikan keluar rumah sakit dari balik jendela di ruangan Goo Junhoe.

“aku akan menunggunya sadar.” Jawab Junhoe dengan wajah yang benar – benar sangat frustasi.

“dia tidak akan sadar, bahkan tidak ada respon sama sekali ketika dokter Kim mencoba memanggilnya.” Sungkyung menatap Junhoe yang duduk dikursinya.

“dia akan sadar dan kembali mengingat semuanya!” Junhoe bangkit bersamaan dengan ponselnya yang berdering.

“Ne Kim Ssaem. Mwo? Aku segera kesana...” Junhoe memasukan ponselnya ke saku jubah putihnya dengan cepat ia melangkahkan kakinya diikuti oleh Sungkyung yang tidak tahu apa yang sedang terjadi.

*

“Oppa, jika aku sakit, apakah kau mau menjadi dokterku?” Jisun bersandar di depan kulkas es krim disalah satu mini market ditemani junhoe yang membuka bungkus es krim berwarna hijau ditangannya.
“kau tidak akan bisa sakit.” Jawab junhoe memberikan es krim yang baru saja ia buka pembungkusnya.
“oppa, aku manusia jadi aku bisa saja sakit.” Jisun melahap es krim yang sudah berada ditangannya. Junghoe tersenyum melihat ekspresi kekasihnya yang seperti anak kecil itu.
“jika kau menjadi dokter nanti, dan aku menderita penyakit parah, kau harus mengoperasiku dan tidak boleh gagal. Tapi jika aku mati karena operasi itu, aku tetap bahagia karena aku tahu orang yang paling aku cintai berusaha semaksimal mungkin agar aku tetap hidup walaupun hanya 1 detik.”

“waktu berlalu begitu cepat, musim dingin telah kembali.” Sungkyung menghampiri Junhoe yang dari tadi berdiri didepan jendela di salah satu kamar vvip di Rumah Sakit Asan Medical Center.

“ehm, salju turun kembali.” Junhoe tersenyum memperhatikan bulir – bulir salju yang perlahan turun.

“ahh, aku benar – benar lelah akhir – akhir ini. Banyak pasien yang berdatangan, operasi hampir setiap jam. Ya Junhoe-ya, bagaimana kalau kita pergi minum malam ini, aku yang traktir.” Sungkyung berdiri disebelah Junhoe membelakangi jendela.

Junhoe hanya tersenyum matanya masih terus memandangi salju yang turun bergantian.
“Goo Gyosu, Pasien Lee Hanja mengalami kejang.” Suara Donghyuk meramaikan lamunan mereka berdua.

“noona, sepertinya kita harus kerja kembali, kajja.” Junhoe menghampiri Donghyuk lalu pergi meninggalkan kamar vvip diikuti Sungkyung yang memasang muka masamnya.
*κΈ‘*

No comments:

Post a Comment