Laman

August 4, 2012

[FF] THANK'S NAM WOOHYUN (oneshoot)


“tanpa basa basi lagi, aayoo check this out new fanfiction with main cast nam woohyun from infinite.. happy reading all, i hope you’ll like it” –shan-
CAST:
INFINITE NAM WOOHYUN
Author as that girl

Kehidupan adalah sebuah pergantian antara kesedihan dan kebahagiaan. Tapi, akankah kesedihan yang aku miliki selama hampir 20 tahun ini berubah menjadi kebahagiaan? Aku tidak pernah mengetahui siapa appa dan eommaku. Segelintir orang mengatakan kedua orang ini meninggal terbunuh oleh rentenir saat aku berumur 2,5 bulan. Tapi kenapa mereka membiarkanku untuk tetap hidup? Kehidupanku tidak kalah menyedihkan atau bahkan lebih menyedihkan dibanding kehidupan mereka saati itu.
“ya~~~ kau ada didalam kan? Cepat bayar uang sewamu!!” suara itu aku dengar sangat jelas disertai suara gedoran pintu yang cukup keras. Hentikan, hentikan ini, suara hatiku berusaha terdengar keras. Aku hanya mampu menutup telingaku disudut ruangan samping lemari.
“eomma!” ucapku pelan hingga suara pemilik sewa rumahku pudar. “kenapa kau meninggalkanku seperti ini.....”
Suara gedoran pintu terdengar kembali. Terdengar lebih halus dibanding yang tadi. Aku menatap kearah pintu lalu bangkit perlahan berjalan pelan mendekati pintu.
“nu...nuguseyo?” ucapku walau dengan suara berat.
“ya~ kau bisa membuka pintumu dulu?” suara seorang lelaki yang belum pernah aku dengar sebelumnya menyuruhku membuka pintu.
Dengan perlahan, aku membuka sedikit pintu dengan perasaan was-was. Aku melihat seorang lelaki yang menurutku cukup tampan berdiri dihadapanku. Ia mengenakan syal abu abu dan winter coat berwarna gelap. Ia terlihat sedang menggendong gitar lalu dengan senyumannya ia menyapaku. Aku sama sekali tidak mengenal lelaki ini.
“ah, kau tahu dimana tempat tinggal pemilik rumah sewa ini? Aku tadi kedekat hongdae katanya dia pindah kesini.” Tanyanya dengan nada yang sangat bersahabat. Aku mengusap air mataku yang belum sempat aku usap tadi. “kau menangis? Kau ada masalah?” tanyanya sambil memperhatikan wajahku.
“bibi pemilik rumah tinggal dibawah, pintu ketiga dari kiri.” Ucapku lalu masuk kembali dan menutup pintu rumahku. Aku tidak suka berbasa basi dengan orang yang aku tidak kenal.
“ahh, baiklah terimakasih banyak.” Suara itu terdengar dari balik pintu rumahku. Lalu seketika hening kembali.
*
Pagi menjelang. Aku selalu pergi sejak pagi buta mengikuti langkah kakiku berjalan. Aku tidak pernah punya tujuan. Selama kakiku masih sanggup melangkahkan kakinya, aku akan terus berjalan.
Sejak pagi hingga senja kembali datang, aku tidak pernah menghentikan langkah kakiku. Langkah kakiku mengerti kapan aku harus pulang dan kapan aku harus meninggalkan rumah. Malam ini pun, langkah kakiku mengantarkan aku kembali kerumah sewaku.
“woohyun-ah! Kenapa kau kembali secepat itu hah? Sudah bagus kau dibusan, kau pasti dikeluarkan dari perkuliahanmu kan? Dasar anak nakal”
“eomma! Aku tidak dikeluarkan, aku sudah lulus sejak 3 bulan lalu, ini buktinya.”
“kau jangan bohong! Kebiasaanmu berbohong itu yang paling eomma benci.”
Pembicaraan antara pemilik rumah sewa dengan anaknya terdengar ditelingaku. Aku menghentikan langkahku dan memperhatikan keduanya yang saling bekejaran dengan si ibu membawa sapu dan memukul mukuli anaknya. Tanpa sadar aku mengguratkan sedikit senyumku.
“ya kau! Kapan kau mau membayar uang sewa? Sudah 3 bulan kau menunggak.” Bibi itu melihatku yang memperhatikan mereka. Lelaki yang semalam menemuiku yang ternyata adalah anak bibi itu juga ikut memperhatikanku.
“aku.” Ucapku hampir tidak terdengar oleh mereka berdua.
“bereskan barang-barangmu dan aku akan menggratiskan tunggakan itu.” Perintah bibi itu tanpa basa-basi. Aku menatap bibi dengan tatapan sinis lalu beranjak pergi.
“eomma, kau tega sekali, ini sudah malam kau malah membiarkan perempuan pergi dimalam seperti ini.” Teriak lelaki yang bernama woohyun itu membelaku. Aku tidak menggubrisnya sama sekali. “ya~ kau, setidaknya kau memohon agar tidak diusir malam ini.”
10 menit kemudian aku keluar dengan membawa barang barangku yang tidak terlalu banyak. Aku melihat woohyun masih duduk dianak tangga. Aku berjalan melewatinya seakan tidak melihatnya sama sekali. Aku merasakan woohyun menggenggam lenganku. Aku membalikan badanku lalu menatapnya dengan tatapan sinis. Seketika woohyun melepaskan genggamannya. Tanpa bicara aku meninggalkannya dengan langkah cepat.
*
Dini hari telah datang. Sangat gelap. Aku duduk disebuah halte bus dengan hanya ditemani sebuah koper hitam disebelahku. Tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini. Kemana atau dimana aku akan membaringkan tubuh ini aku tidak memikirkannya. Aku hanya memperhatikan sekitarku yang sepi. Kendaraan yang melintas pun menipis jumlahnya. Lampu lampu kota terang seakan mengajaku menari namun aku menolaknya. Inikah kehidupanku yang hanya seorang diri? Menyedihkan.
*
Siang ini, masih ditemani dengan koper hitamku, aku menikmati segelas americano sambil memperhatikan keramaian taman kota yang dipenuhi banyak manusia yang mengguratkan senyum keceriaannya.
“ah kau disini rupanya? Semalam kau tidur dimana?” suara yang sudah aku kenal kembali mengetuk gendang telingaku. Aku menatapnya, woohyun tersenyum lalu tanpa aku pinta ia duduk disebelahku. “ah, aku lupa. Ini.” Woohyun mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Aku mengenal tumpukan kertas itu.
“kau dapat darimana?” tanyaku dengan nada datar.
“kau tahu kan semalam aku bertengkar dengan eomma, lalu aku tidur saja dikamar yang kau tinggalkan, aku menemukan itu dibawah meja kecil disudut ruangan.” Jawab woohyun dengan wajah santainya dan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. Aku meraih kertas itu dan memperhatikannya. “kata-kata yang bagus, menurutku kau cocok untuk menjadi seorang pencipta lagu. Apa kau bisa bermain gitar, piano, atau semacamnya? Tapi jika kau tidak bisa, aku bisa membantumu untuk membuatkanmu melodi.”
Aku kembali menatapnya. Lelaki ini sungguh banyak bicara tapi entah kenapa aku merasa sangat nyaman berada didekatnya.
“aku tidak berminat.” Ucapku menghabiskan americano-ku.
“lalu? Sayang jika kertas itu kau buang.” Woohyun menatapku bingung. Aku membuang wajahku menatap kearah lain.
“untukmu.” Aku memberikan kertas itu kepadanya. Wajah bingungnya belum terhapus.
“ah, bagaimana jika aku yang membuat melodinya, dan aku yang bernyanyi. Suaraku tidak terlalu bagus menurut teman temanku, tapi menurutku suaraku sudah cukup baik jika didengarkan. Nanti kau yang membantuku untuk tampil di cafe-cafe atau acara yang lain. Lagipula aku sangat sulit untuk membuat lagu dengan lirik sebagus ini.” Usul woohyun membuatku berpikir sejenak.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Membawa serta koperku hendak pergi. “ya~ kau mau kemana?” teriaknya memanggilku. Aku tidak menjawabnya, namun woohyun mengejarku lalu berdiri dihadapanku.
“kau tidak mau membantuku? Nanti jika kita mendapat uang, uangnya kita bagi dua. Ah tidak tiidak, kau akan aku beri 60% sementara aku memberimu 40%-nya. Ayolah! Coba pikirkan, kau bisa menyewa kamar yang lebih baik dibanding kamar yang disewakan oleh bibi tua itu.” Woohyun memohon dengan wajah yang cukup lucu dan perkataan yang membuatku ingin tertawa. Tapi aku tetap berjalan tanpa mendengarkannya. “ya~ sebenarnya apa tujuan hidupmu sebenarnya? Ingin terus mengelilingi kota ini tanpa uang? Dan tidur dihalte bus tiap malam?” suara itu menghentikan langkahku. Entah kenapa perkataan itu menyentuh perasaanku. Apa tujuan hidupku pun hingga kini aku tidak mengetahuinya dan tidak pernah memikirkannya bahkan tidak ada yang pernah bertanya tentang itu kepadaku. Tapi, kenapa orang seperti dia mempertanyakannya?

*
“nah, kau bisa tidur disini untuk sementara.” Ucap woohyun ketika kita masuk kedalam sebuah ruang musik yang tidak cukup besar dan dipenuhi oleh sebuah gitar listri, piano besar, dan sebuah sofa putih ditengahnya. “ini tempat persembunyianku sejak sekolah menengah.” Ucapnya lagi.
Aku memperhatikan ruangan yang bernuansa coklat itu. Ia mulai memainkan gitarnya mencari cari melodi yang cocok untuk sebuah lirik yang aku buat selama hampir 20 tahun ini.
*
Setelah dua minggu aku sedikit membantu woohyun, lagu yang ia ciptakan selesai. Melodi yang tidak rumit dan sangat hangat jika kita mendengarnya membuatku berpikir lebih positif akhir akhir ini.
“ahh, dua minggu kita sudah tampil di tiga cafe, its amazing.” Ucap woohyun ketika aku berjalan dengannya disore yang dingin. Aku hanya mendengar perkataannya, sementara tanganku membolak balik kertas dan mataku memperhatikan kertas itu. “bagaimana? Pendapatan kita?” tanya woohyun. Aku hanya tersenyum memberikan kertas yang berisi jadwal manggung woohyun dan hasil jerih payahnya hari ini.
“oh iya ini.” Aku memberikan sebuah amplop coklat yang cukup tebal berisi uang padanya.
“sudah kau ambil bagianmu?” tanya woohyun menghitung jumlah uang tersebut. Aku hanya menggeleng pelan. “ah kau ini, kan sudah aku bilang ambil dulu bagianmu lalu baru kau berikan sisanya padaku.” Woohyun mengembalikan amplop itu padaku lagi. Aku hanya diam tidak menerima amplop tersebut. “ah kau ini, ayo ikut aku.” Woohyun menarik tanganku menyebrang jalan lalu berhenti disebuah toko pakaian yang tidak terlalu besar. Aku memperhatikan toko itu sejenak namun woohyun menarik tanganku masuk kedalam toko yang dipenuhi oleh pakaian yang terlihat sangat cantik. “ini sangat cocok untukmu.” Woohyun mengambil setelan rok dan blues berwarna soft dan mencocokannya ditubuhku. “ini juga baik.” Ia mengambil sebuah blazer ungu lalu mencocokannya lagi. Aku memperhatikannya yang sibuk sendiri memilihkan baju untukku. Aku merasakan hal yang aneh, ini pertama kalinya ada yang memperhatikanku semasa hidupku.
“gomawo.” Ucapku sangat lirih. Woohyun juga tidak mendengar sama sekali ucapanku itu.
*
“pergilah, kami tidak membutuhkan penyanyi untuk cafe ini.” Suara itu sering aku dapatkan ketika aku mempromosikan woohyun kehampir seluruh cafe di seoul. Aku sudah sering mendengarnya, tapi untuk kali ini aku merasa ucapan itu menusuk hatiku. Aku berjalan pelan meninggalkan cafe itu dengan sedikit rasa lapar.
“ya~” suara bibi pemilik sewa waktu itu terdengar kembali. Aku membalikan badanku dan menatapnya. Wajahnya memerah seakan ada api yang ingin keluar dari tubuhnya. “kau bawa anakku kemana? Sudah hampir satu bulan dia tidak kembali kerumah.” Aku hanya diam sambil berpikir.
“dia selalu pulang setiap malam.” Jawabku dengan nada sangat lambat.
“jangan berbohong padaku, dia tidak pernah kembali sejak malam itu.” Sahut bibi dengan nada tingginya.
Aku berpikir kembali, apakah woohyun membohongiku? Dia bahkan tidak pernah tidur distudio yang sering kami tempati untuk latihan atau membuat melody.
“katakan padanya, dia harus pulang dan kau tidak boleh lagi mendekatinya.” Bibi itu meninggalkanku setelah mengeluarkan kata kata itu.
Apakah aku sangat menyebalkan sehingga bibi itu sangat membenciku. Menyedihkan.
*
Malam ini aku masuk kedalam studio musik setelah melihat woohyun sedang membuat melody untuk lagu barunya. Dia tersenyum kearahku namun aku tidak meresponnya sama sekali. Aku melemparkan tumpukan kertasnya keatas meja didepannya. Woohyun menatapku bingung.
“aku ingin pergi.” Ucapku pelan sambil membereskan koperku.
“kau yakin? Kenapa kau tiba tiba ingin pergi?” tanya woohyun dengan nada yang sangat bingung. Aku tidak menjawabnya dan melanjutkan langkahku. “tunggu dulu.” Lagi lagi woohyun menggenggam lenganku. “jelaskan dulu semuanya.”
“ibumu... menyuruhmu pulang.” Ucapku pelan. “dan, aku sudah muak dengan ini semua. Ini bukan tujuan hidupku.” Lanjutku tanpa membalikan tubuhku.
“lalu, apa tujuan hidupmu sebenarnya?” tanya woohyun pelan.
“eobseo.” Ucapku lirih.
“kau yakin tidak ada? Semua orang mempunyai tujuan hidup. Uang, kebahagiaan, kebersamaan, dan cinta adalah sebagian kecil tujuan hidup seseorang.” Ucap woohyun yang emosinya sudah tidak tertahan. Aku mendengarnya cukup keras ditelingaku. Aku membalikan badanku lalu menatap wajahnya.
“kau bukan diriku.” Ucapku dengan tatapan sinis.
“lalu?”
“kau tidak pernah merasakan jadi diriku! Dan jika kau ditawari untuk jadi diriku kau pasti menolaknya.” Woohyun menatapku serius. “kau tahu? Ayah dan ibuku meninggal saat aku masih bayi saat aku masih membutuhkan asi dari ibuku. Mereka meninggalkanku tanpa menitipkanku dengan siapapun. Selama masa anak-anaku aku digilir dari satu tempat ke tempat lain untuk tinggal. Hanya makan sehari satu kali itu pun jika orang yang mau menerimaku memiliki nasi, jika tidak aku hanya mengharapkan balas kasih dari orang disekitarku.” Ceritaku dengan emosi yang benar benar tidak bisa aku tahan lagi.
“tapi, ada tujuan lain orang tuamu membiarkanmu hidup.” Sahut woohyun pelan.
“apa tujuan mereka? Aku ditakdirkan hidup lebih lama dibanding mereka tapi tidak bisa sebahagia mereka. Itu menyedihkan. Aku tidak ditakdirkan untuk bahagia sama sekali, banyak orang yang membenciku dan mencemoohku.”
“tapi, kau pasti ditakdirkan untuk merasakan cinta.”
“tidak! Aku bahkan tidak pernah dicintai oleh siapapun.”
“tidak, bersyukurlah karena hari ini kau sedang dicintai oleh seseorang.” Ucapan woohyun membuat mataku terbelalak. Apa yang ia katakan sulit untuk aku cerna diotakku. Dia mencintaiku? Ah bukan, tidak mungkin. “tetaplah disini, aku akan membantumu mencari kebahagiaan.”
*
Hari berganti hari, musim juga ikut berganti. Musim semi datang kembali, kehangatan juga turut datang. Bagaimana kabar lelaki itu, nam woohyun. Semenjak hari aku meninggalkannya tidak ada kabar terselip ditelingaku. Ah, aku harap dia baik baik saja.
Sudah lebih dari 1 minggu aku bekerja disebuah salon kecantikan. Bukan sebagai penjaga salon atau apapun itu namanya, tapi sebagai penyebar brosur dari salon ini. Salon ini memang baru saja buka karena itulah aku bekerja disana.
Setiap hari aku harus pergi mengelilingi kota seoul yang hangat, termasuk hari ini. Aku pergi dengan membawa setumpuk brosur ditanganku. Kota seoul yang cukup ramai dan hawa yang hangat membuatku merasa aku akan hidup seribu tahun lagi.
Lampu pejalan kaki menunjukan bahwa aku boleh menyebrang sekarang. Aku melangkahkan kakiku dengan sangat santai, namun seorang lelaki yang melangkahkan kakinya sangat cepat menabrakku membuat seluruh brosurku berantakan. Aku menghela napas panjang, lalu dengan terburu-buru membereskan semua brosurku.
“ya~~~~” suara yang sangat aku kenal terdengar memanggilku. Aku mencari sumber suara. Aku melihat woohyun tak jauh dariku tersenyum sambil melambaikan tangannya. Tanpa aku sadari, aku mengguratkan senyumku sambil ikut melambaikan tanganku. Seluruh brosur kembali berantakan dijalanan. Aku harus buru-buru membereskannya. Tapi aku tersadar aku sudah terlalu lama berada ditengah jalan raya ini. Suara klakson terdengar sangat jelas ditelingaku. Aku melihat truk kuning melaju cepat dihadapanku. Aku menatap truk itu, “ya~~ awas...” suara woohyun yang terdengar lebih jelas dari panggilannya yang pertama membuatku menatap kearahnya. Ia berlari kearahku berusaha menolongku.
“woohyun-ssi!! Awas!” teriaku bangkit ketika melihat sepeda motor hendak menabraknya. Aku terlambat, badan truk itu sudah lebih dulu menyentuh tubuhku, melempar tubuhku jauh dari tempat woohyun tergeletak.
*
“dokter, bagaimana keadaan anakku dok.” Suara bibi pemilik sewa terdengar sangat berat. Aku melihat wajahnya yang pucat dan penuh dengan air mata memperhatikan kami yang terbaring dikamar yang sama.
“lelaki tidak terlalu parah, hanya kakinya yang patah dan luka dikepalanya, tapi sepertinya untuk si wanita kita hanya menunggu keajaiban. Dia terlempar sekitar 15 meter dari tempat kejadian, kepalanya retak dan tangannya patah.” Ucapan dokter itu benar benar aku dengar. Entah kenapa aku cukup senang mendengar perkataan dokter tersebut. Aku melihat ibu woohyun memasuki kamar yang ditempati kami.
“ya..” suara woohyun memanggilku pelan. Aku menghentikan langkahku menatap kearahnya yang berdiri dibelakangku. “siapa namamu? Selama kau mengenalmu, aku tidak pernah kau menyebutkan namamu.”
“namaku? Tidak ada lagi pentingnya untukmu jika kau bertanya itu sekarang.” Jawabku santai sambil tersenyum senang. Woohyun menatapku bingung. “kembalilah, aku kasihan melihat ibumu menangis memanggil namamu terus.” Ucapku sambil memperhatikan ibu woohyun dari balik pintu yang sedang mengusap air matanya. Woohyun ikut menatap ibunya yang menangis.
“lalu kau?” tanya woohyun lagi.
“aku juga akan kembali ke ibuku, lihat, mereka sudah berdiri disana.” Jawabku santai. Aku menunjuk sepasang manusia yang berdiri diujung lorong rumah sakit. Mereka berdua tersenyum menatapku dan woohyun. “terimakasih atas semua bantuanmu selama ini, woohyun-ssi. Jangan pernah membuat ibumu sedih lagi, kau harus berjanji untuk ini.” Aku memukul pelan dada woohyun. Aku menatap matanya yang mulai merah. Bibirnya terlihat beku seakan ingin bicara tetapi sulit untuknya. “kembalilah, sebelum aku pergi dengan mereka. Aku ingin memastikan kau benar benar membuat ibumu bahagia saat kau sadar.” Ucapku yang membuatku seakan ingin menangis. Woohyun hanya diam namun perlahan ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan tempat tubuhnya berbaring. Namun ia membalikan badanya seakan tidak ingin aku pergi, aku hanya tersenyum namun mataku tak kuat menahan tetesan air mataku.
Woohyun sudah masuk kedalam tubuhnya. Perlahan aku melihatnya berusaha membuka mata. Ibu woohyun terlihat antusias melihat anaknya yang kembali sadar. Dengan cepat ia memanggil dokter memastikan anaknya benar benar sadar. Bersamaan dengan dokter yang memeriksa woohyun, suara mesin penanda detak jantung berbunyi. Aku mendengar suara yang cukup menggembirakan untukku. Aku melihat dokter berusaha menolongku, tapi semuanya sudah berakhir.
“ya~, sadarlah, ya~ jangan pergi~!!” teriakan woohyun masih terdengar olehku. Aku benar benar menangis saat ini. Kenapa aku baru merasakan rasa ini setelah 20 tahun aku hidup. Rasa yang benar benar membuatku berpikir kembali untuk pergi. Tapi aku tidak mungkin untuk kembali lagi. Maafkan aku woohyun-ssi.
“uljima.” Ucapku pelan ketika ia melihat keluar ruang rawatnya. “aku pergi.” Aku melangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tuaku. Semuanya terasa ringan walau diawalnya cukup berat. Terimakasih, nam woohyun.
*end*

No comments:

Post a Comment