Laman

November 11, 2013

[FF] Your Expressions are Amazing (part. 3 -end-)

HEI HEI~~~ maaf banget buat sequel ketiga yang telaaaaaaat bgt. semuanya terhalang oleh kegiatan hihi. tapi ini dia part 3nya, happy reading guys~~~~

DUJUN POV
Dia pergi, aku benar benar tidak tega membuatnya menunggu dan melihatnya menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, memberikan dadaku untuk tempat ia menangis. Tapi aku tidak bisa. Aku merasa bersalah padanya selama ini. Sejujurnya, aku terlalu mencintainya.
Aku menghela napasku, kali ini, aku merelakan lelaki itu mengantarkan jun ri pulang. Aku hanya bisa berharap dia baik-baik saja.
Aku membalikan tubuhku lalu berjalan kembali kerumahku. Aku membiarkan kameraku tergantung dipundakku. Pikiranku tidak bisa aku jauhkan dari jun ri, perempuan manis yang senyumnya selalu aku ingat, bahkan saat aku tidur.
*
LEE JUN RI POV
Berhari-hari aku tidak keluar kamarku, aku juga tidak membuka korden kamarku. Aku lebih suka gelap ketika perasaanku benar benar kacau seperti saat ini. Dipikiranku hanya ucapan woohyun yang membuatku selalu berpikir apa yang seharusnya aku lakukan saat ini. Walau dibelakang ucapan woohyun masih terngiang ucapan dujun yang membuat hatiku keruh.
“eottokhae??” aku hanya bisa menangis, melanjutkan tangisanku malam itu. apakah lelaki itu tidak mengkhawatirkanku? Aku benar-benar sudah bosan dengan semua ini. Apa aku harus mengikuti ucapan woohyun?
*
AUTHOR POV
Siang ini, dikoridor kampusnya, jun ri berjalan menghampiri dujun yang sedang berkumpul dengan teman temannya. Matanya masih terlihat sembab dan rambutnya masih terlihat acak-acakan. Namun ia terus melangkah menghampiri kekasihnya itu.
Dujun yang sedang sibuk bercanda dengan teman-temannya tanpa sengaja melihat jun ri berjalan kearahnya. Ada tanda tanya besar kenapa jun ri mencarinya karena biasanya jun ri tidak pernah mencarinya. Dujun bangkit lalu menghampiri jun ri.
“ada apa?” tanya dujun santai. Jun ri menatap mata dujun.
“setelah jam terakhirmu selesai, temui aku ditempat biasa.” Ajak juri tanpa senyum dan dengan nada datar.
“hari ini aku tidak bisa.” Jawab dujun cepat.
“aku akan menunggumu.” Sahut jun ri cepat menahan air matanya agar tidak jatuh.
“jangan memaksakan dirimu.”
“aku harap kau datang.” Jun ri berbalik meninggalkan dujun yang menatapnya bingung.
*
Dua jam, tiga jam, empat jam, bahkan lima jam sudah berlalu. Jun ri masih betah duduk dikursi putih itu. dari ramainya hongdae hingga sisa beberapa orang dengan gurat kelelahan yang kembali menuju tempat sunyi mereka.
“sudah kubilang jangan menungguku seperti ini!” suara tinggi dujun terdengar jelas ditelinga jun ri. Refleks, jun ri mengangkat kepalanya menatap wajah kesal dujun. Tanpa kata jun ri berdiri dihadapan dujun.
“akhirnya kau datang.” Ucap jun ri pelan berusaha mengguratkan senyumnya tapi tak berhasil. Ia menatap mata dujun sebentar lalu mengalihkannya kearah lain. ada gurat rasa bersalah dujun yang tidak berhasil dirasakan oleh jun ri.
“katakan sejujurnya, dujun-ssi, selama ini, kau menganggapku apa?” suara jun ri mulai bergetar dan itu benar benar dirasakan oleh dujun walau dujun tidak mengguratkan tanda mengerti diwajahnya. Dujun hanya diam tidak menggubris pertanyaan jun ri. “ada yang salah padaku sehingga kau melakukan ini dan mengulanginya terus menerus? Kenapa kau selalu membuatku menunggu? Kenapa kau selalu mengajakku bertemu tapi kau malah tidak menemuiku? Kau tahu, setiap kau mengajakku aku selalu menunggumu disini, berjam jam, tanpa jelas yang kau beritahu kepadaku. Tanpa telepon yang mengatakan kau tidak bisa datang.” Air mata jun ri tidak dapat menahan kekesalan dirinya. Air mata itu kini berbaur dipipi jun ri.
“kau harus pulang.” Ucap dujun meraih lengan jun ri dengan tujuan menghentikan tangisan jun ri.
“apa yang kau lakukan selama ini? Aku kekasihmu! Menunggumu berjam-jam, itu hanya aku tidak ingin kau menungguku. Tapi ternyata..... kau...” ucapan jun ri tidak terdengar ketika dujun meraih kepala jun ri ke dadanya. Wajah dujun terlihat sangat sedih tapi ia tidak sanggup menjelaskan semuanya malam ini.
“aku rasa... aku rasa hubungan kita cukup sampai disini. Kau bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa kau melakukan ini semua.” Jun ri melepaskan pelukan dujun lalu mengusap air matanya. “aku pergi.” Jun ri melangkah pergi walau kakinya terasa berat. Sementara dujun, ia hanya terpaku memperhatikan punggung jun ri yang semakin jauh dari pandangannya.
“mian”
*
YOON DOOJOON POV
Akhirnya semuanya telah selesai, tugas fotoku sudah semuanya di cetak. Aku mengguratkan sedikit senyumku sembari memperhatikan setumpuk foto ditanganku. Berbagai ekspresi seorang wanita terlihat nyata difoto-foto yang lebih dari 100 lembar ini.
Apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku bergumam sendiri sementara mataku tertuju pada sebuah kotak diatas meja. Kotak itu masih berdiri disana tanpa ada pemiliknya. Pemiliknya telah pergi sebelum aku memberikan itu padanya. Aku menghela napasku panjang, rasa sesal melekat jelas dihati ini. Tapi, perasaan cintaku padanya tidak akan pernah memenangkan rasa sesalku itu.
*
AUTHOR POV
Matahari tenggelam, daun daun kering memenuhi pinggiran jalan kecil. Suara burung yang bercengkrama sangat jelas disertai hembusan angin yang kencang. Libur musim gugur segera dimulai. Berpasang-pasang kaki manusia terhentak mengikuti irama keriangan hati para mahasiswa yang semuanya menyambut liburan dengan pelukan tangan mereka seakan mereka tidak ingin liburan cepat berlalu.
Jun ri dan kedua langkah kakinya berjalan mengikuti alunan detak jantungnya yang sunyi. Tidak ada seorang pun disebelahnya karena hari ini woohyun pulang lebih cepat mengejar pesawat yang hendak mengantarnya ke jepang. Hanya angin yang sesekali riang menghembuskan auranya menemani hati jun ri yang kembali sunyi.
Langkah jun ri mengantarnya keluar gerbang gedung kampusnya. Terus berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya yang berubah coklat.
“honja?” suara itu terdengar sangat bersahabat disertai suara angin yang menghela rambutnya.
Jun ri menatap datar kelelaki yang sedang bersandar ditembok. Lelaki itu tersenyum lalu tanpa bicara menggandeng jun ri, “kau bisa pulang denganku.” Ucap lelaki itu tersenyum lebar.
Tanpa bicara, jun ri melepaskan genggaman dujun lalu kembali berjalan mengikuti langkah kakinya.
“jebal.” Dujun menarik tangan jun ri membuatnya berbalik dan melangkah begitu cepat.

JUN RI POV
Tanpa bicara, aku berjalan disebelah dujun dengan tangan kiriku yang masih ia genggam. Aku dan lelaki ini melangkah hingga sampai kesebuah apartemen besar. Aku tahu tempat ini, pernah sekali aku ketempat ini saat aku mengembalikkan jaket miliknya yang aku pakai ketika hujan datang. Saat itu, aku hanya sampai keruang tamunya. Setelah itu, ia mengajakku keluar dan meninggalkan apartemen yang hanya ia tempati sendirian.
Dujun menekan kode kunci rumahnya. Aku masih diam, tidak ada gairah untuk bicara ataupun hanya sekedar tersenyum. Gairahku telah habis tergenang oleh kesedihanku yang aku alami saat ini. Walau jauh didalam lubuk hatiku aku ingin mendengar alasan dujun selama ini.
“masuklah.” Pintu terbuka. Wajah dan mata dujun tidak mengguratkan penyesalan dan rasa bersalah sama sekali.
“aku harus pulang.” Ucapku tergerak untuk pergi.
“masuklah, dan kau akan tahu alasan dari apa yang aku lakukan padamu selama ini.” Mata dujun menatap mataku. Suaranya membuat getaran dihatiku muncul lagi. Aku bertanya tanya sendiri ada apa sebenarnya didalam.
Setelah diam sejenak, aku melangkahkan kakiku masuk. Masih sama seperti ketika aku datang saat itu. ruangan yang tidak terlalu besar dan didominasi warna hitam dan coklat terang. Beberapa lukisan dan foto-foto abstrak terpajang rapi dimeja ruang tamu dan didekat komputernya. Aku tahu ini termasuk dalam bagian hobinya yang suka memotret, aku tahu itu.
“kita kekamarku.” dujun berjalan menuju kamarnya. Pikiranku mulai kemana-mana. Apa yang akan dia lakukan jika aku mengikutinya kekamar. “sudahlah, kajja.” Dujun meraih lenganku membawaku masuk kedalam kamarnya yang gelap. Aku semakin gugup.
“apa yang akan kau lakukan sebenarnya?” tanyaku mencoba menerka dimana wajah dujun karena aku tidak dapat melihat apapun. Dujun hanya diam namun genggaman tangannya semakin erat.
Seketika, lampu menyala. Setiap sudut ruangan menjadi sangat terang. Aku terperanjat melihat jejeran foto-foto didepanku. Foto-foto yang tertata rapi memenuhi seluruh bagian dari tembok yang ada didepanku. Aku terpaku memastikan jika perempuan yang ada difoto itu semua adalah aku. Semua ekspresiku tergambar jelas difoto itu. bahkan...
“maafkan aku, aku tidak pernah menjelaskan ini semua padamu.” Dujun mengucapan sesuatu membuat aku mengalihkan pandanganku kewajahnya.
Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku benar benar tidak pernah memikirkan ini sebelumnya. Aku menganggapnya tidak datang ketika aku menunggunya, tapi ternyata dia selalu datang tepat pada waktunya.
“lihat, ini ekspresimu ketika kau menungguku untuk yang pertama kalinya.” Dujun mulai menjelaskan foto-foto didinding kamarnya itu. aku menahan tangisku berusaha tersenyum melihat ekspresi bodohku sendiri. “dan ini, ini saat kau keluar dari ruang kelasmu dikampus. Kau terlihat sangat lelah.” “ini saat kau bertemu dengan woohyun, kau tahu, aku sangat cemburu saat itu.” dujun menghentikan ucapannya ketika ia melihat air mataku yang tidak bisa aku tahan lagi.
“wae?” aku mulai membuka mulutku walau sedikit berat. “kenapa kau melakukan ini?” aku menangis lagi sambil memukul dada dujun. Tapi dengan cepat dujun memelukku dan mengusap lembut rambutku.
“karena aku mencintaimu. Aku mencintai semua ekspresi diwajahmu. Aku tidak sanggup tidak melihatmu selama 1 detik saja, karena itulah aku membuat ini dikamarku.” Ucap dujun menatap wajahku yang sudah ditutupi air mataku sendiri.
“kau jahat! Kau bisa bilang kepadaku jika kau ingin memotretku, bukan menyuruhku menunggu berjam-jam kan?” tanyaku lagi masih dengan perasaan kesal yang aku luapkan.
“jika seperti itu aku tidak dapat ekspresimu yang seperti ini.” Dujun menunjuk fotoku ketika aku menunggunya untuk yang terakhir kali saat itu. “mian, telah membuatmu menunggu. Aku merasa bersalah padamu. Maafkan aku.” Dujun kembali memeluk dan meletakkan kepalaku didadanya.
Entah kenapa ada perasaan lega dihatiku. Aku meneruskan tangisku yang tidak bisa langsung aku hentikan didadanya.
*
DUJUN POV
Masih sore, mataku masih tertuju pada layar komputerku. Seketika, ponselku berdering pelan. Aku meraihnya tanpa menatapnya. Aku membuka sebuah pesan singkat yang muncul dilayarponsel hitamku.

2.55 pm, mon, oct 01, lee jun ri
Kau masih ingin membuatku menunggu?”

Aku tersenyum menebak nebak apa ekspresi yang ada diraut wajahnya ketika ia mengetikan satu per satu huruf yang ia kirimkan kepadaku.
Dengan segera, aku mematikan komputerku, meraih ponsel dan sweeter abu-abuku dan bergegas menemuinya. “aku tidak ingin membuatnya menunggu lagi. Aku berjanji”
*end*