Laman

November 4, 2012

[FF] :: It Must.. (oneshoot)


Cast::
·         BEAST “DONGWOON
·         yoon ji rin (author)
·         Min kyung
GENRE: Romantic, Sad
*
Aku terdiam dalam lamunan ditengah larutnya malam. Suara rintik hujan mulai terdengar. Aku mengalihkan pandanganku kearah jendela yang tepat dihadapanku. Kacanya yang semula bersih secara perlahan ditutupi oleh titik titik gerimis yang datang disertai angin yang menggoyangkan serpihan dedaunan.
Aku menggerakan tanganku pelan berusaha meraih gorden untuk menutupi jendela itu. aku terlihat kaku dan tidak bisa hidup. Pikiranku terus menerawang jauh tentang sesuatu yang menyedihkan.
Flashback 3 tahun lalu:::
Setelah hari kelulusan sma, min kyung mengajakku kerumahnya. Ia bilang ada yang ingin ia bicarakan. Dengan perasaan yang sumringah aku tidak menolak ajakan min kyung, karena sebelumnya aku juga ingin menyampaikan sesuatu yang menurutku penting kepadanya.
Aku masuk kedalam ruangan yang sangat besar dengan corak merah diselingin merah jambu dibeberapa sudutnya. Aku hafal betul ruangan ini. Ruangan yang dipenuhi oleh warna warni itu bahkan sampai pada tempat tidur yang dihiasi berbagai warna. Ini kamar min kyung.
“aku atau kau dulu yang bercerita?” min kyung menarik kursi yang semulai ada didepan meja belajarnya mendekat kearahku yang duduk disudut tempat tidurnya.
“sepertinya kau sudah tidak sabar, jadi kau duluan saja yang bercerita.” Pintaku walau hatiku benar benar sudah tidak sabar untuk memberitahukan sesuatu pada minkyung.
“aku, sebenarnya aku sudah memendam ini sejak lama. Kau tau son dongwoon kan?” tatapanku yang semula berbinar sedikit menyipit mendengar nama lelaki yang disebut oleh min kyung. Aku terdiam mencoba mengembalikan ekspresi antusiasku sambil sedikit mengangguk.
“aku menyukai lelaki itu, sejak kita masuk kelas 3, aku mulai menyukainya. Lelaki itu benar benar tipe idamanku. Aku ingin sekali mendekatinya.... kenapa kita lulus begitu cepat ya, ji rin??” aku melihat minkyung menceritakan semua perasaannya dengan wajah yang riang. Aku melihat ada bulir cinta dimatanya. Semakin aku melihatnya, semakin aku sudutkan niatanku untuk menceritakan sesuatu pada sahabatku ini.
“kalau begitu, kau bisa masuk universitas yang sama dengannya.” Ucapku walau awalnya aku tidak ingin mengatakannya.
“sepertinya tidak mungkin.” Wajah minkyung seketika berubah nanar. “aku, aku harus dirawat dirumah sakit mulai besok.” Ucapan minkyung yang sulit dicerna oleh otakku terdengar ditelingaku.
“kau bercanda?” tanyaku mencoba membiarkan suasana agar minkyung tidak terlihat sedih. Usahaku gagal, aku melihat minkyung menghapus air matanya yang hampir jatuh.
“aku, mengidap kangker hati stadium lanjut. Dan sepertinya hidupku tidak akan lama lagi.” Aku tersentak kaget mendengarnya. Wajah minkyung tidak pernah terlihat muram sebelumnya, bahkan saat ini, saat ia menceritakan tentang penyakitnya, senyumnya masih terus menemani wajahnya.
Aku terdiam, aku langsung memeluknya dalam. Aku benar benar tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihku kepada sahabat yang selalu menemaniku sejak kami berada dikelas 1 sma. Aku menangis sambil mengusap punggung minkyung.
“gwencanha, ji rin-ah, aku tidak apa-apa, aku bisa melewatinya. Aku yakin. Lagipula aku masih punya orang yang menyayangiku, termasuk kau. Kau tidak akan meninggalkanku kan?” suara minkyung mulai berat. Aku langsung merangkulnya kembali sambil berusaha tersenyum.
“lalu apa yang ingin kau ceritakan padaku?” minkyung menghapus air matanya lalu menatapku santai disertai senyumnya.
Aku terdiam, menatap kearah lain memikirkan tentang ceritaku. “aku lupa...” ucapku membohonginya sambil tertawa.
“ah kau ini, oh iya, ada satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu. Tapi kali ini hanya kau yang boleh mengetahuinya. Kau harus janji padaku.”
“mwoya? Ppali malhae!!!” ucapku sedikit kencang dengan senyum.
“aku ingin menikah dengan orang ini.” Minkyung meraih sebuah buku berwarna merah dan menunjukan foto seorang lelaki. Son dongwoon. aku kembali terpaku. “jika aku menikah dengannya, hidupku yang sebentar ini akan terasa lebih bermakna.”
::::flashback end
Aku bangkit, melangkah berat kearah tempat tidurku. Tiga tahun berlalu, tanpa minkyung tahu saat itu aku sudah berpacaran dengan son dongwoon. tapi, saat ini lebih berat dibanding saat itu. aku menjalani hari hariku sekarang, dihantui dengan rasa bersalahku padanya.
*
“kapan kau akan membuat undangan?” suara ibu terdengar ketika aku bergegas turun dari kamarku.
Aku menghentikan langkahku, mengambil apel dimeja makan, “ibu, aku bahkan belum lulus kuliah. Satu tahun lagi paling tidak.” Ucapku melahap apelku. “sudahlah, aku ingin kerumah sakit, sampai jumpa nanti sore ibu.” Aku mencium pipi ibuku dan langsung bergegas kerumah sakit.
*
MINKYUNG POV
Matahari pagi ini memang terlihat lebih cerah dari biasanya. Aku memperhatikan selang infus yang terus mengalirkan cairan kedalam tubuhku lebih dari 3 tahun ini. Setiap hari, selang ini harus diganti, tapi kenapa hidupku tidak ikut berubah. Terlalu lama seperti ini sangat menjenuhkan. Kenapa kau tidak mencabut nyawaku sejak awal. Pertanyaan itu masih terus menyeruak di pikiranku.
“jangan terlalu sering melamun.” Suara ji rin benar benar mengagetkanku. Senyumannya yang sangat manis terlihat dihadapanku. “kau sudah makan?” tanyanya sambil mengeluarkan beberapa buah dari tas plastik yang ia bawa. Ji rin juga mengganti gelas yang ada dan menggantinya dengan yang baru. Dia benar benar sahabat terbaikku.
“bagaimana kuliahmu?” tanyaku masih terus memperhatikan perempuan ceria satu ini.
“baik baik saja, tidak ada yang spesial.” Jawabnya menyuapi buah apel yang baru selesai ia kupas.
“carilah kekasih agar terasa lebih spesial.” Usulku sambil menahan tawa.
“bukankah dokter dirumah sakit ini banyak? Selama aku bolak balik kesini, banyak dokter yang membicarakanmu, sepertinya kau idola disini. Apa kau menyukai salah satu dari mereka.” Aku menyadari aura wajahnya berubah namun ia tetap sempat bercanda.
“aku hanya menyukai son dongwoon.” ucapku pelan kembali memperhatikan sinar matahari yang masuk kedalam ruangan.
YOON JI RIN POV
Ucapan itu lagi-lagi muncul. Aku harus kembali membiasakan ekspresi wajahku. Mendengar kata-kata itu membuatku merasa bersalah pada perempuan yang terlihat kasihan dihadapanku ini.
Aku menarik kursi mendekati min kyung lalu duduk. Aku menatapnya dalam, “apakah kau benar-benar menyukai son dongwoon?” tanyaku perlahan walau sedikit berat.
“hem, neomu manhi.” Minkyung tersenyum mengangguk cepat.
“lalu apa yang aku bisa lakukan untukmu?” tanyaku sedikit berpikir.
“kau pernah bercerita padaku, kalau kau satu kampus dengan son dongwoon, aku hanya ingin kau menyuruhnya untuk datang menjengukku.” Jawab minkyung juga dengan ekspresi berpikir. Aku terdiam. “hahahaha, aku pikir itu sulit, mungkin son dongwoon itu juga sudah melupakanku.”
“lain kali aku akan menyuruhnya menjengukmu.” Ucapku pelan menyenangkan hati minkyung.
*
AUTHOR POV
Ji rin berjalan cepat melewati lorong lorong rumah sakit setelah jam besuknya sudah habis. Ia memperhatikan ponselnya lalu turun dengan menggunakan lift.
Tanpa hitungan menit, jirin sudah berada diluar rumah sakit. Dihadapannya ada sebuah mobil hitam. Ji rin tersenyum masuk kedalam mobil itu.
“mau sampai kapan aku selalu menjemputmu dirumah sakit?” suara seorang lelaki hampir bersamaan terdengar dengan suara pintu yang ditutup oleh ji rin.
“sampai minkyung sembuh.” Ji rin menjawab dengan senyumnya yang merekah.
*
DONGWOON POV
Aku memarkirkan mobilku tak jauh dari taman air mancur. Aku merasa ada hal aneh ketika aku menatap kekasihku yang masih terdiam disebelahku. Dia sedikit berbeda dan lebih sering melamun akhir akhir ini.
“ayo turun, mau sampai kapan kau terdiam seperti itu.” ucapku sambil mengusap lembut rambutnya yang halus. Ia terlihat kaget namun senyumnya langsung merekah seketika.
Aku melangkah bersamanya menuju pusat taman air mancur. Disekelilingku masih banyak deretan manusia yang menikmati musim gugur yang sedikit dingin ini. “kapan kita akan cetak undangan?” aku mencoba bertanya pada ji rin, menghilangkan zona diam diantara kita.
“ya~ kenapa kau jadi seperti ibuku? Kita bahkan belum lulus..” suaranya meninggi. Aku merasakan jirin yang ceria lagi.
“aku hanya ingin cepat cepat menikah denganmu.” ucapku santai meraih dan menggenggam tangannya.
“kita akan secepatnya menikah, pasti.” Aku merasakan jemari jirin membalas genggamanku.
“eonje?”
“setelah kita lulus, kita langsung membuat undangan.”
“yaksok?” wajah jirin berubah terlihat seperti ada yang menahannya untuk bicara. Dia tidak menjawab ucapanku. Ji rin hanya diam lalu memeluk lenganku tanpa kata. Tidak seperti biasanya.
“aku hanya tidak ingin kehilanganmu.” Ucapnya pelan.
*
JIRIN POV
Enam bulan sudah berlalu, tanpa kusangka aku dan juga dongwoon dapat lulus sebelum target yang kita buat. Aku sangat senang saat ini.
Wisuda kelulusanku baru saja selesai. Aku dan dongwoon menikmati musim dingin disebuah cafe kecil disudut jalan, cafe dimana tempat dongwoon menyatakan perasaannya saat pesta kelulusan SMA dulu.
“bagaimana jika besok kita memilih undangan untuk pernikahan kita?” suara dongwoon cepat.
“kenapa kau terlalu terburu-buru, kau bahkan belum punya pekerjaan. Mau makan apa aku dan anak-anakku nanti jika ayahnya seorang pengangguran.” Sahutku menahan tawaku.
“aku bisa mencari pekerjaan setelah kita menikah, lagipula perusahaan ayahku juga akan aku pimpin nanti.” Dongwoon mencari alasan.
“dongwoon-ie, nanti kita pasti akan menikah.” Ucapku meraih tangan dongwoon dan menggenggamnya.
“kenapa kau selalu berkata seperti itu?” wajah dongwoon berubah serius. Aku tahu dia pasti sedikit marah.
Beruntung, ponselku berdering, sebuah pesan singkat muncul dilayar ponselku. Aku tertegun membaca pesan itu berulang ulang. Dengan cepat aku bangkit dan memakai blazer oranyeku.
“ada apa?” tanya dongwoon yang ikut bingung.
“minkyung, minkyung tidak sadarkan diri.” Jawabku panik.
“ayo kita kesana.” Dongwoon menarik tanganku menuju mobilnya yang terparkir tepat didepan cafe.
*
15 menit kemudian, aku dan dongwoon sampai dirumah sakit. Beruntung, Tuhan masih menginginkan minkyung untuk hidup. Sesaat sebelum aku sampai, minkyung sudah sadar. Tanpa pikir panjang, aku berlari memeluknya.
“aku tidak apa-apa, aku akan tetap hidup.” Ucapnya menepuk punggungku.
“jangan seperti ini lagi.” Ucapku menahan agar air mataku tidak jatuh.
Minkyung hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya yang tadi menatapku sekarang beralih keseorang lelaki yang berdidi didekat pintu ruangan. Matanya berbinar menatap dongwoon yang terdiam. Aku ikut menatap dongwoon, lalu kembali menatap minkyung yang pipinya memerah.
“kenapa kau tidak bicara padaku dulu jika kau membawanya kesini? Apa aku sudah cantik?” minkyung membisikan kata katanya ditelingaku.
“dongwoon-ie, kemarilah.” Ucapku menahan egoku sendiri.
Dongwoon menghampiri aku dan minkyung, “kau baik-baik saja? Ji rin sangat mengkhawatirkanmu.” Tanya dongwoon tanpa mengerti apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Minkyung mengangguk tanpa menghilangkan sedikit senyum dari wajahnya, “gomawo kau mau datang menjengukku.”
“bagaimana perasaanmu?” tanyaku masih terlihat biasa-biasa saja.
“aku sangat senang, terimakasih jirin-ie...” minkyung kembali memelukku. Air mataku benar benar sudah tidak tertahan. Perasaan ini benar benar ingin membunuhku.
*
AUTHOR POV
“benar, hanya tinggal tentukan tanggalnya dan menyebar undangan.” Suara ibu jirin membuat jantung jirin berdegup ketika keluarga son dan keluarga ji rin berkumpul makan malam dikediaman ji rin.
“kita sudah menentukan gedung dan gaun pengantin. Kenapa kalian lama sekali untuk menentukan tanggalnya.” Suara tuan Son membuat wajah ji rin semakin bingung. Dongwoon yang duduk disebelah jirin memperhatikan wajah jirin dalam.
“kami akan menentukannya dengan segera, paman.” Sahut jirin cepat dengan nada yang tidak bergairah.
*
MINKYUNG POV
Dongwoon datang tiga hari yang lalu membuatku bisa melupakan penyakitku ini. Wajahnya benar benar bersinar. Andai aku bisa menyatakan perasaanku padanya. Setidaknya aku bisa puas dan lega ketika ajal yang ada didepan mataku menghampiriku.
Tapi, kenapa ji rin tidak menjengukku dua hari ini. Apa dia sakit, ahh, aku harap dia tidak apa-apa.
AUTHOR POV
“kangker hatinya sudah stadium akhir, hanya keajaiban yang mampu menolongnya.” Suara dokter menggema ditelingan ji rin.
“bagaimana dengan donor hati dok?” jirin mencoba tegar.
“sampai sekarang tidak ada yang cocok. Jangan memaksakan dirimu. Sekarang, kita hanya bisa membuatnya tersenyum dan bahagia disisa hidupnya. Lelaki yang waktu itu kau ajak kemari, sepertinya nona minkyung menyukainya, sejak saat itu ia kembali rajin meminum obatnya. Jadi saranku, sering seringlah ajak dia kemari.”
JI RIN POV
Aku melangkah menutup ruangan dokter kim. Aku menangis, menutup mulutku agar suara tangisanku tidak terdengar. Aku terus menangis hingga kakiku tidak kuat lagi menahan tubuh dan penderitaanku. Lorong rumah sakit yang gelap dan air mataku saja yang saat ini menemaniku. Haruskah aku merelakan dongwoon untuk minkyung?
*
“kenapa kau membawaku kerumahmu?” tanyaku melangkah masuk kerumah super besar milik keluarga son.
Rumah yang besar ini, terlihat sangat sepi. Aku tidak melihat satu orang pun kecuali penjaga rumah yang aku temui saat kami masuk kedalam. Aku memperhatikan ruang tamu dan jam menunjukan pukul 11 malam.
“kenapa kau diam disini, ayo..” dongwoon menarik tanganku menuju lantai atas dan masuk kedalam kamar yang cukup besar. Aku semakin bingun dengan tingkah lakunya yang aneh. “duduklah.” Dongwoon menyuruhku sambil menutup pintu kamarnya.
“mwonji? Kenapa rumahmu sepi sekali?” tanyaku sangat santai.
“ini sudah jam 11 malam, sudah waktunya tidur.” Dongwoon mengusap lembut pipiku.
Entah apa yang ingin ia bicarakan padaku selarut ini didalam kamarnya. Dongwoon hanya diam menatap wajahku. Aku mulai gugup, namun aku memberanikan diri menatapnya. Menatap wajahnya yang tepat berada dihadapanku. Aku mengusap pelan pipinya, entah kenapa aku ingin menangis.
“aku milikmu, dan kau milikku.” Ucap dongwoon pelan mendekatkan wajahnya dan mencium hangat bibirku. Aku menurunkan tanganku yang semula ada dipipinya, tanganku terasa lemas mendengar ucapannya dan merasakan bibirnya. Aku merasakan ciuman malam ini adalah ciuman yang berbeda dari ciuman yang pernah ia berikan padaku sebelumnya.
Aku melepaskan bibirku perlahan dan membuka mataku. Dongwoon tersenyum mencoba mencium leherku dan melepas kancing kemejaku. Aku mengelak, menahan tangannya yang hampir membuka kemejaku. “andwae.” Ucapku pelan dan terasa berat. Aku baru sadar, dongwoon melakukan ini agar kita segera melaksanakan pernikahan, tapi tekadku sudah bulat sekarang.
“kau mengantuk?” dongwoon yang terlihat merasa bersalah mengeluarkan ucapannya. Aku mengangguk pelan. “tidurlah denganku, aku berjanji tidak akan melakukan apapun padamu. Aku tidak akan memaksamu.”
Aku bangkit dan langsung memeluk erat dongwoon. Perasaan itu muncul lagi, perasaan kehilangan yang sangat dalam itu muncul membuatku memeluknya semakin erat. Maafkan aku dongwoonie, aku melakukan ini karena aku sangat mencintaimu dan minkyung.
*
Matahari menyusup masuk. Aku merasakan jemari dongwoon berselancar pelan diwajahku. Aku membuka mataku perlahan, senyumannya langsung terpancar indah dihadapanku.
“tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan mengecup hangat keningku. Aku memperhatikan sekelilingku dan sedikit mengecek pakaianku. Tidak ada yang berubah, pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Dongwoon benar benar dapat dipercaya, dan inilah salah satu alasan mengapa aku mencintainya.
Aku mengangguk pelan, meraih tangannya dan menggenggamnya. Dongwoon mendekatkan dirinya padaku, meletakan lengan kirinya diatas kepalaku. Aku memiringkan tubuhku menghadap kedadanya yang bidang.
“aku ingin, kau berjanji padaku akan sesuatu.” Ucapku pelan sambil membuat tanda love dengan telunjukku didadanya.
“mwo?” tanyanya memainkan rambutku pelan.
“kau berjanji?” aku mengulangi ucapanku.
“hm, aku berjanji.”
“tentang hubungan kita, kau jangan pernah memberitahukannya pada minkyung ya.” Aku mulai mencoba menjelaskan. “katakan padanya jika kau hanyalah temanku, iya, seorang teman. Tidak lebih.” Aku sedikit menjauhkan tubuhku, menatap wajahnya dan tersenyum.
“kau tidak pernah menceritakan hubungan kita pada minkyung?” tanya dongwoon dengan tatapan bingung.
“hmm.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“tapi memang kenapa aku tidak boleh memberitahukan hubungan ini padanya?” pertanyaan dongwoon membuatku berpikir.
“selama ini, dia hanya tahu jika aku tidak punya seorang kekasih. Dia juga akan marah jika aku memperkenalkan kau sebagai kekasihku saat ini.” Bibirku bergetar menjelaskan semua kebohongan yang sangat berat aku ungkapkan pada dongwoon.
“jadi kau malu memberitahukan kekasihmu yang seperti ini pada sahabatmu itu?”
“a... anii~, tapiii....” aku mulai kehabisan alasan. “sudahlah, pokoknya kau harus berjanji untuk itu.”
“dasar kau.” Dongwoon mengacak-acak rambutku lalu memelukku. Maafkan aku dongwoon-ie. Aku mencintaimu.
*
AUTHOR POV
Sudah lebih dari dua minggu ji rin tidak menjenguk minkyung atau hanya sekedar mampir kerumah sakit. Minkyung mulai was-was tentang jirin. Dia bahkan tidak tahu jika jirin sudah lulus dari kuliahnya beberapa waktu lalu.
“aku kesepian....” ucap minkyung menyaksikan beberapa anak kecil ditaman rumah sakit bermain bola dari jendela kamarnya. Minkyung menggoyang goyangkan kakinya namun ia sadar ia tidak cukup kuat berdiri dari kursi roda itu. dengan perasaan terpaksa, minkyung mendorong kedua roda kursinya itu dengan kedua tangannya yang kecil. Minkyung berniat untuk turun, setidaknya menghirup oksigen yang lebih bebas dibanding oksigen yang ada diruangannya.
Minkyung mendorong kursi rodanya keluar kamarnya. Tapi ia hampir saja menabrak seseorang yang berjalan cukup cepat dihadapannya.
“ahh, mianhada.” Ucap minkyung menunduk lalu menatap lelaki itu. “dongwoon-ie...” ucapnya antusias. Dongwoon menatap minkyung dan mengingat wajahnya.
“ah, minkyung-ssi, bagaimana keadaanmu?” tanya dongwoon ramah.
“aku baik-baik saja, apa yang sedang kau lakukan disini?”
“aku mengantar ibuku check-up hari ini. Kau ingin pergi?” tanya dongwoon lagi memperhatikan minkyung dan kursi rodanya.
“aku ingin ke taman.” Jawab minkyung tersenyum menatap lelaki idamannya itu dengan sangat berbinar.
“biar aku antar, seharusnya kau minta tolong suster untuk mengantarmu.” Dongwoon menutup pintu kamar minkyung lalu mendorong kursi roda itu pergi.
Minkyung tersenyum, merasakan perasaan cintanya yang menggebu didalam hatinya. Wajahnya terlihat sangat cerah bahkan ketika dongwoon menghentikan kursi rodanya itu dibawah sebuah pohon yang rindang.
“jika kau ingin kembali kekamarmu, kau panggil suster saja.” Dongwoon menunjuk suster yang berdiri tak jauh dari mereka.
“dongwoon-ie, bisakah kita bicara sebentar?” minkyung menahan dongwoon untuk pergi.
“mian minkyung-ssi, ibuku sudah menungguku. Mungkin lain kali.”
Hati minkyung sedikit sedih mendengar ucapan dongwoon. dongwoon melangkah meninggalkannya. Mata minkyung terus menatap lelaki tampan itu hingga punggung dongwoon menghilang dari tatapannya.
“gomawo.”
*
JIRIN POV
Hampir 1 bulan aku tidak kerumah sakit. Selama itu pula, ibu minkyung sudah menelponku 5 kali untuk memberitahuku bahwa penyakit minkyung kambuh. Aku semakin kasihan pada sahabatku itu. badannya pasti semakin kurus. Wajahnya semakin pucat. Aku bahkan tidak mampu menatap wajah tirusnya jika aku menemuinya.
Apa yang sebenarnya aku lakukan saat ini? Hanya diam, menunggu perempuan itu mati dan menikah dengan dongwoon. aku bukan orang yang seperti itu, aku sudah berjanji pada minkyung untuk membuatnya dekat dengan dongwoon. tapi, aku harus memilih salah satu dari itu sepertinya keputusanku ini sudah tepat. Perlahan menjauh dari dongwoon dan minkyung.
*
DONGWOON POV
Kemana jirin? Satu bulan ini ia menghilang dengan alasan tidak jelas. Beribu alasan ia berikan padaku namun tidak ada yang bisa aku percaya. Aku mulai bosan dan sangat sangat merindukannya hari ini. Aku memutuskan untuk pergi kerumahnya dan memastikannya apa dia baik baik saja.
Aku menghentikan mobilku didepan rumah keluarga yoon, masuk kedalam. Kurang dari 5 menit, aku kembali lagi kedalam mobilku. Jirin sedang tidak ada dirumah. Ahh, perempuan ini benar benar ingin membuatku gila karena merindukannya. Namun dengan cepat, aku mengambil ponselku, mencari namanya dikontak ponselku dan menghubunginya.
“kau dimana?” tanyaku dengan nada kesal.
“aku sedang dirumah seorang teman. Maaf aku sibuk.” Ji rin memutuskan teleponku. Dengan perasaan sangat kesal, aku kembali melajukan mobilku cepat kerumah sakit, aku berpikir, jirin pasti sedang bersama sahabatnya itu disana.
*
Aku terus berjalan dengan langkah cepat masuk kedalam rumah sakit tempat minkyung dirawat. Melewati beberapa ruangan dilantai satu dan melewati taman buatan yang tepat berada ditengah rumah sakit tersebut. Aku melihat minkyung sedang terdiam diatas kursi rodanya sambil membuat sesuatu dari kertas yang ia pegang.
Aku menghampiri perempuan itu, ia terlihat sendirian tanpa jirin disebelahnya, “kau sendirian?” tanyaku santai. Aku melihat ekspresinya yang terkejut akan kehadiranmu namun dengan cepat senyumnya terurai diwajahnya.
“seperti yang kau lihat.” Jawabnya santai.
“jirin tidak kemari?” aku langsung ketopik pembicaraan.
“sudah 1 bulan ini jirin tidak menjengukku, mungkin dia sibuk.” Minkyung menarik sayap dari burung kertas yang ia buat. Aku memperhatikan itu dengan sangat seksama hingga ia mengagetkanku, “ada apa kau mencarinya?”
“tidak, tidak ada apa-apa.” Ucapku pelan mengingat janjiku pada jirin.
“kalian berdua tidak ada hubungan apa-apa kan?” minkyung kembali bertanya namun pertanyaan ini terkesan aneh ditelingaku.
“kami.... hanya.... te man.” Jawabku bergetar.
“aku senang mendengarnya.” Ucapan minkyung membuatku bingung. Apa arti kata senangnya itu.
“aku harus pergi.” Aku mulai bosan dan ingin cepat mencari jirin kembali namun tangan perempuan ini menahan lenganku.
“ada yang ingin aku ceritakan padamu. Tunggulah sebentar.”
JIRIN POV
Buah yang ada ditanganku hampir saja terjatuh ketika aku menatap dari kejauhan minkyung menggenggam lengan dongwoon. perasaan sakit itu muncul, dan pertanyaan tentang apa yang dilakukan dongwoon saat ini membuatku hampir terjatuh.
Aku memperhatikan mereka, namun minkyung yang melihatku, Memanggilku dan menyuruhku menghampirinya. Langkahku berat namun aku beranikan diri seperti tidak ada perasaan apapun.
“beruntunglah kau disini jirin-ie, sepertinya aku ingin mengungkapkan ini sesegera mungkin.” Minkyung mengucapkan sesuatu yang dapat aku tebak. Aku menatap wajah dongwoon yang bingung. “aku menyukaimu dongwoon-ie.” Jantungku mulai berdegup kencang, aku mengalihkan pandanganku dari minkyung.
“aku menyukaimu sejak SMA, aku ingin kau mengetahui ini sebelum aku pergi dari dunia ini.” Minkyung menghapus air matanya pelan.
“apa maksudmu?” tanya dongwoon yang tidak mengerti ucapan minkyung. “jirin-ah!” dongwoon memanggilku. Aku langsung menghapus air mataku dan menatapnya.
“minkyung ingin menikah denganmu.” aku bertahan. Mengeluarkan ucapanku yang akhirnya aku keluarkan walau rasanya lebih sakit dibanding biasanya.
“MWO! Ini gila!” dongwoon mulai kesal dan menatapku tajam.
“gwencanha, aku tahu ini aneh. Tapi, aku sudah merasa lebih baik karena aku telah memberitahukan perasaanku untukmu saat ini dongwoon-ie, mian.” Minkyung tersenyum. Ada gurat kesedihan diwajahnya ketika melihat dongwoon yang seolah tidak menerimanya.
“berhenti memanggil aku dongwoon-ie, dan jirin, jelaskan apa maksudnya ini padaku!” suara dongwoon meninggi menatap minkyung dengan tatapan sinis lalu menatapku bingung.
“minkyung-ah, sepertinya kau harus kembali kekamarmu. Disini sangat dingin.” Aku mendorong kursi roda minkyung menuju kamarnya membiarkan dongwoon yang membisu.
*
“jelaskan aku tentang semua ini.” Suara dongwoon meninggi ketika hampir 15 menit aku dan dongwoon terdiam disebuah kursi taman yang sangat sepi malam ini.
“keinginan jirin sebelum ia pergi adalah menikah denganmu.” ucapku pelan.
“jadi, kau ingin aku menikah dengannya?” dongwoon menatapku masih dengan tatapan sinis. Aku mengangguk tanpa suara. “maldo andwae!” dongwoon menggelengkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“dongwoon-ie, mengertilah sedikit. Bantu aku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, bahkan minkyung sudah sering kambuh akhir akhir ini. Aku takut.” Aku meraih tangan dongwoon dan menggenggamnya. Air mataku mulaih menetes bersamaan dengan perasaan hancur yang aku rasakan saat ini.
“aku tidak akan melakukannya.” Ucap dongwoon tetap pada pendiriannya.
“jika kita berjodoh kita pasti akan menikah.”
“jadi kau membiarkan aku menikah dengannya, menunggunya mati, seperti itu?” dongwoon akhirnya menatapku.
“jangan berkata seperti itu!” aku membentak dongwoon ketika mendengar perkataannya yang benar-benar tidak tertata rapi keluar dari mulutnya.
“ma... maaf.. aku tidak bermaksud.” Aku terdiam. “kita pulang, kita bicarakan ini lain kali.” Dongwoon menarik lenganku. Menggenggamnya lalu melangkah menuju mobilnya untuk kembali kerumah.
*
MINKYUNG POV
Malam ini aku terbangun, rasa sakit yang tidak biasa seakan menendang bagaian sebelah kiri dadaku. Aku mencoba menahannya sambil memeganginya. Namun sakit itu terus menusuk dan tidak lekas meninggalkanku.
Aku berusaha meraih obat yang tepat disebelah tempat tidurku. Tapi sia-sia, bukan obat yang kudapatkan, tapi obat itu malah jatuh berserakan ke lantai.
Aku mulai tidak kuat, aku merasakan cairan hangat diantara hidung dan bibirku mengalir deras. Kepalaku mulai pusing dan mataku mulai remang. Seketika cahaya kamarku yang tadinya terang berubah menjadi gelap dan semakin gelap.
*
AUTHOR POV
disebuah koridor rumah sakit tepatnya didepan ruang UGD, beberapa orang dengan wajah cemas menunggu. Ada kedua orang tua minkyung, dan kakak perempuannya. Ibu minkyung tidak dapat menghentikan air matanya sementara ayah minkyung terus mengusap punggung istrinya mencoba menenangkan.
“bagaimana keadaan minkyung immonim?” dengan napas terengah-engah, ji rin yang belum sempat pulang kerumahnya menghampiri kedua orang tua minkyung.
“ji rin-ahhh, minkyung-iee.....” refleks, ibu minkyung memeluk ji rin. ji rin yang hampir menangis membalas pelukan ibu minkyung sambil mengusap pelan punggung perempuan paruh baya itu.
“gwencanha immonim, min kyung akan baik baik saja.” Ji rin yang sangat sedih dengan keadaan hari itu ikut menyekat air matanya.
Dongwoon yang malam itu juga bersama ji rin terpaku melihat sebuah peristiwa memilukan itu. pikiran dongwoon melayang tentang persahabatan kekasihnya dengan minkyung.
“dia pasti sangat sedih, aku tidak pernah melihatnya menangis seperti itu kecuali saat ibunya sakit.” Suara hati dongwoon pelan.
Selang 30 menit kemudian, seorang dokter yang sangat dikenal ji rin keluar dari ruangan itu. ekspresi wajahnya terkesan tidak ada harapan pada diri minkyung.
“kalian harus terus berdoa, kondisi minkyung sudah tidak ada harapan lagi.” Seketika tangis ibu minkyung pecah di koridor itu mendengar ucapan dokter yang sudah menyerah.
Bibir ji rin bergetar, dirinya tidak kuat menahan tubuhnya sendiri. Ia hampir saja terjatuh, namun dongwoon yang berada disebelahnya menahannya membuat jirin kembali berusaha berdiri.
“kau harus istirahat. Biar kuantar pulang.” Ucap dongwoon memperhatikan wajah jirin yang berubah pucat.
“aku ingin tetap disini.”
“kau jangan keras kepala. Besok pagi kau bisa kembali kesini.”
*
DONGWOON POV
Pikiranku terus melayang, mengingat ucapan ji rin dan ucapan minkyung yang terus bergantian datang. Apa yang harus aku lakukan? Aku melihat semuanya tadi, wajah sedih ji rin, keluarga minkyung, dan perasaan ji rin yang aku rasakan sangat sakit.
Aku tidak mungkin menikahi perempuan yang tidak pernah aku cintai sebelumnya. Selama ini aku hanya bisa membayangkan dengan perempuan yang aku sangat cintai, yoon ji rin.
“ahhhh.....” aku mengacak-acak rambutku menghilangkan semua kakacauan ini. Mataku terus kedepan melajukan mobilku cepat meninggalkan debu dijalan yang sepi di dini hari ini.
*
Aku membuka mataku ketika rasa hangat menyeruak di kamarku. Tidak seperti biasa cahaya matahari dengan mudahnya masuk kedalam kamarku. Aku memperhatikan sekelilingku mencoba mengalahkan rasa kantukku. Aku melihat ji rin berdiri dihadapanku. Matanya memerah namun ia mencoba tersenyum.
“kenapa kau datang sepagi ini?” tanyaku tersenyum mencoba membuatnya ikut melebarkan senyumnya.
Jirin diam, namun, ia mulai bertindak aneh. Ia menekuk kakinya dan berdiri dengan lututnya dihadapanku sekarang. Aku tertegun, aku bahkan tidak pernah membayangkan kejadian ini sebelumnya.
“menikahlah dengan minkyung...” suaranya terdengar bergetar dan tertunduk.
Aku membuka mataku lebar, lalu turun dari tempat tidurku, ikut berlutut dan memegang kedua pundaknya dengan kedua tanganku.
“andwae!” ucapku tegas.
“jebal, dongwoon-ie, lupakan aku dan menikahlah dengannya. Umurnya sudah tidak panjang lagi, dan... aku.... tidak bisa melihatnya menahan sakit seperti itu. hanya dirimu yang bisa membuatnya sembuh.” Air mata ji rin menetes, mengalir deras dan suaranya bergetar. Aku terdiam, tidak bisa berkata apa pun melihat wajahnya yang pucat menangis dihadapanku.
“minkyung... minkyung... lebih mencintaimu dibanding aku...” suaranya kembali bergetar. “menikahlah dengannya demi diriku.” Isak tangisnya kembali terdengar. Aku benar benar tidak sanggup menahan perasaanku, mataku ikut menahan air mataku yang akan jatuh.
“ji rin-ie, kau pernah berjanji, jika kita pasti menikah, kau, ingin melanggar janji itu?” aku mencoba berkata pelan walau hatiku benar benar sakit saat aku mengatakannya.
“kita pasti menikah, kita... pas..ti menikah.. tapi dengan jodoh kita masing-masing.” Jirin menyentuh pipiku mendekatkan wajahnya yang basah lalu mencium bibirku. Lagi lagi aku hanya diam tidak berkata apapun. Perempuan ini benar benar membuat hatiku bergetar.
“kita menjenguk minkyung sekarang, sudah tidak ada waktu lagi, kau harus mengajaknya menikah hari ini.” Ji rin menghapus air matanya sendiri, bangkit lalu menarik lenganku meninggalkan kamarku.
*
AUTHOR POV
Dongwoon dan jirin masuk kedalam ruangan yang berbeda dari biasanya. Beberapa tabung oksigen dan alat pengukur jantung terlihat berdiri berdampingan disamping tempat tidur minkyung. Minkyung terlihat sedang memperhatikan cahaya matahari walau masker oksigen masih terpasan dihidungnya.
“minkyung-ah..” suara ji rin yang terdengar serak membuat minkyung menoleh kearahnya.
Minkyung tersenyum menatap ji rin dan dongwoon yang berdiri tepat dibelakang ji rin.
“kau sudah tidak apa-apa?” ji rin bertanya seakan tidak terjadi apa-apa sebelum mereka datang.
“aku selalu baik-baik saja.” Minkyung tersenyum. “kau menangis? Kenapa matamu merah?” minkyung memperhatikan wajah jirin.
“gwencanha, ada yang ingin dongwoon katakan padamu.” Ji rin tersenyum lalu menatap dongwoon seakan memberikan kode agar dongwoon mendekat.
Dongwoon yang mengerti apa maksud ji rin, melangkah perlahan mendekat ketempat tidur minkyung. Dongwoon memperhatikan wajah minkyung sebentar. Namun bukan mengatakan sesuatu tapi ia malah menarik jirin keluar kamar tersebut.
“aku tidak bisa.” Ucap dongwoon mengacak acak rambutnya.
“lakukanlah.” Ji rin tersenyum menahan perih dihatinya lalu mengenggam tangan lelaki tampan yang berdiri dihadapannya.
*
Satu minggu kemudian :::::
JI RIN POV
Aku duduk didepan cermin dikamarku. Aku mengenakan sebuah dress berwarna merah muda tanpa lengan. Aku memperhatikan bayangan diriku sendiri dicermin. Bayangan penyesalan dan bayangan menyedihkan muncul dari wajahku yang muram.
Hari ini, adalah hari yang benar benar tidak aku inginkan. Tapi, aku harus melewatinya. Di hari pernikahan dongwoon dan minkyung ini, aku harus hadir. Tapi, memoleskan make up diwajahku pun aku tidak bisa. Hanya bulir bulir kesedihan yang menyatu membuat mataku memerah. Setelah hari itu, aku tidak menemui siapapun, dongwoon maupun minkyung. Aku hanya berteduh didalam kamarku, menunggu hari ini tiba. Tapi sekarang, aku hanya bisa berdoa agar hari ini berlangsung sangat cepat bbahkan tidak terjadi sama sekali.
“kau harus tampil cantik, ibu tahu, perasaanmu sakit, tapi setidaknya kau bisa membuat minkyung tersenyum.” Tangan eomma merangkulku. Aku meneteskan air mataku mendengar seluruh ucapannya.
Ibuku benar, aku harus berdandan, memberikan kesan positif untuk mereka berdua. Memberikan senyuman kepada mereka.
“eomma...” ucapku memeluk ibuku tanpa bisa menahan air mataku.
“gwencanha, menangislah. Ibu mengerti perasaanmu.” Aku benar benar merasakan pelukan hangat seorang ibu saat ini.
DONGWOON POV
Hari ini benar benar datang, aku menggenakan tuxedo hitam dan berdandan sangat rapi. Hari pernikahanku tiba, tapi perasaan senang itu hilang seketika ketika aku sadar aku bukan menikah dengan kekasihku, melainkan sahabat kekasihku yang tidak pernah aku cintai sebelumnya.
“kau sudah siap? Dongwoon-ie.” Suara seorang perempuan beserta genggamannya datang bersamaan. Aku menatap wajah minkyung yang duduk dikursi roda sambil tersenyum.
“jangan memanggilku dongwoon-ie.” Ucapku pelan. Menurutku panggilan itu hanya cocok jika ji rin yang mengatakannya.
“jika setelah ini aku meninggal, menikahlah lagi dengan orang yang benar-benar kau cintai, tapi jika aku tetap hidup setelah ini, berusahalah untuk mencintaiku. Aku akan membantumu.” Min kyung tersenyum mengusap pelan jemariku lalu pergi meninggalkanku sendirian.
*
JIRIN POV
Aku sampai ditempat pernikahan minkyung dan dongwoon. mataku masih merah dan aku membiarkannya. Aku meninggalkan ibuku yang sedang menyapa keluarga son. Aku menuju ke ruangan yang hanya ditempati oleh minkyung. Aku menatapnya dari kejauhan. Ia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun putih yang sangat cocok untuknya.
“ji rin-ie....” suara minkyung antusias menyambutku yang berjalan menghampirinya.
Aku tersenyum benar-benar terpaksa lalu memeluknya, “gomawo.” Ucapnya memelukku sangat erat. “kau sangat cantik.” Ia memperhatikanku yang memakai dress pesta untuk pertama kalinya.
“kau lebih cantik.” Jawabku lagi lagi memaksa tersenyum. “aku akan menunggumu didepan, sebentar lagi acara ini akan dimulai. Kau jangan gugup.” Ucapku meninggalkan minkyung dengan perasaan sakit yang masih terasa.
Selang 15 menit, acara pun dimulai, aku duduk dengan ibuku dan kakak minkyung. Aku melihat dongwoon yang berjalan bersama ayahnya menuju kepelataran. Aku menatapnya, wajahnya benar benar sangat tampan. Mata kami berdua bertemu, aku berusaha tersenyum namun air mataku hampir kembali menetes. Cepat, ibuku menggenggam tanganku menenangkanku.
Setelah dongwoon sampai kepelataran, minkyung yang masih duduk dikursi roda diantar oleh ayahnya. Aku tidak memperhatikan minkyung lagi aku hanya menunduk berharap acara ini selesai.
“son dongwoon, apakah kau bersedia menerima kang minkyung menjadi istrimu sepanjang hidupmu, saat kau sedih, susah, senang, kau akan selalu bersamanya?” suara itu terdengar ditelingaku. Aku benar benar tidak kuat lagi. Aku bangkit meninggalkan ruangan itu walau ibuku sempat menahanku.
*
AUTHOR POV
Ji rin masih duduk ditaman tempat upacara pernikahan berlangsung. Upacara itu baru saja selesai. Beberapa orang perlahan meninggalkan tempat tersebut. Suara-suara sumbang mulai terdengar ditelinga ji rin.
“aku kira dongwoon akan menikah dengan jirin”
“mereka kan sudah berpacaran cukup lama, mereka juga cocok, tapi dongwoon malah menikah dengan mereka...”
“yang aku dengar minkyung sakit keras...”
Suara-suara itu terdengar hingga ketelinga ji rin. namun ji rin hanya bisa melamun sambil memperhatikan orang-orang yang pergi.
“disini sangat dingin.” Dongwoon datang lalu memakaikan jas yang ia pakai kepundak ji rin. ji rin hanya tersenyum. “aku masih mencintaimu, dan akan terus mencintaimu.” Dongwoon memegang pundak ji rin.
“berusahalah menyukai minkyung, minkyung orang baik, dia cantik, dia pandai memasak, dia bisa membantumu dalam segala hal... di...a.....” air mata ji rin kembali menetes. Ia tidak dapat berkata kata lagi. Ia kembali terisak menahan perasaannya yang terasa benar benar sakit.
“ijinkan aku menemuimu selama aku belajar untuk menyukai perempuan itu.” suara dongwoon juga ikut bergetar. Tangannya meraih dagu ji rin, menatap matanya lalu mencium lembut bibir ji rin. ji rin hanya diam, memejamkan matanya menikmati bibir dongwoon yang mungkin adalah ciuman terakhirnya itu. tangan jirin meraih tangan kanan dongwoon dan menggenggamnya.
Tidak jauh dari mereka, minkyung yang masih duduk dikursi rodanya memperhatikan dongwoon dan jirin. Pikirannya bertanya tanya tentang apa yang mereka bicarakan.
“minkyung-ah.” Suara ibu jirin membuat minkyung memutar kursi rodanya menjadi menghadap ibu jirin.
“jangan pernah temui ji rin setelah ini ya.” Suara ibu jirin terdengar bergetar. Minkyung yang tidak mengerti hanya mengangguk pelan. “ini demi ji rin.”
*
3 BULAN KEMUDIAN::::::
JIRIN POV
Aku mengingat semuanya. Tiga tahun lalu, setelah pernikahanku, entah kenapa sejak saat itu jirin mengganti nomer ponselnya, tidak pernah menghubungiku bahkan tidak lagi datang kerumahku. Sementara dongwoon, ia sering menghubungin, bahkan selama 2 tahun setelah ia menikah dengan minkyung, ia sering mengajakku pergi “berkencan” atau hanya menghabiskan waktu di cafe biasa tempat kami sering minum kopi bersama. Bahkan dongwoon juga sering mengajakku tidur bersama dikamarnya walau tanpa sepengetahuan keluarganya, dan ibuku.
Namun dua tahun itu sudah berakhir ketika keajaiban datang. Keajaiban Tuhan yang bersatu dengan kekuatan cinta, 7 bulan yang lalu tepatnya, dongwoon mengabariku jika penyakit minkyung sembuh total. Seluruh sel kangker di hatinya menghilang. Aku benar benar kaget, hingga aku yang tidak percaya menanyakan langsung ke dokter yang menanganinya. Ucapan dongwoon benar, dokter itu menjelaskan setelah mereka menikah, minkyung selalu rajin meminum obat dan mengikuti terapi.
Dua bulan yang lalu, dongwoon menemuiku lagi. Dia bertanya padaku apa yang harus dia lakukan. Aku hanya tersenyum lalu berkata, sepertinya rumah tangga kalian akan lebih baik jika ada seorang bayi mungil diantara kalian. Saat itu aku melihat wajah dongwoon yang tadinya tersenyum berubah pucat.
“kau pasti sudah mencintainya sekarang. Jadi, lakukanlah kewajibanmu.” Ucapku saat itu walau dengan hati yang masih belum menerima semuanya.
Sejak saat itu, aku tidak bertemu dongwoon lagi. Hingga tadi sore aku mendengar bahwa minkyung hamil. Perasaan senang berkecamuk menjadi satu dengan perasaan kehilangan.
Aku mulai lemah, menerima kenyataan seperti ini begitu berat. Sekarang hanya aku yang hidup sendirian seperti ini. Menahan perih sendirian. Hanya kamar bisu ini dan sebuah kursi roda yang menemani sisa hari-hariku selanjutnya.
*end*