Laman

June 21, 2012

Worst Life (oneshoot)



cast:
INFINITE sunggyu as himself
my friend (vhanni) as kim yoo ra


Happy reading all!!!! J

Aku tidak berniat beranjak dari tempat ini. Mataku masih memperhatikan orang yang berlalu lalang melewati lampu-lampu indah yang menghiasi pusat kota ini. Segelas moccacino yang berdiri disebelahku berubah suhunya mengikuti suhu udara malam ini. Asapnya menghilang digantikan asap napasku yang beradu dengan hawa dingin ini.
Tempat ini membuatku nyaman setidaknya untuk menyegarkan kembali perasaan hatiku. Mataku masih memperhatikan setiap orang yang lewat didepanku. Setiap malam, aku memang selalu duduk dikursi ini menanti seseorang keluar dari sebuah  hotel dihadapanku. Seseorang yang membuatku sedikit bertahan untuk menerima semua jalan kehidupan.
Aku melihatnya, lelaki yang menggunakan setelan jas keluar dari sebuah pintu hotel yang cukup jauh dari tempatku duduk. Lelaki itu masih sama seperti 3 tahun lalu. Wajahnya, bentuk bibirnya, dan cara berjalannya tidak ada yang berubah. Aku tersenyum memperhatikannya dari kejauhan, berharap ia melihat dan membalas senyumanku. Tapi tidak mungkin, sejak 3 tahun lalu hal itu tidak pernah terjadi dan mungkin tidak akan pernah terjadi.
“sunggyu-yaa..” suara perempuan terdengar ditelingaku. Aku mengalihkan pandanganku ke seorang yang berdiri tepat disamping kursi tempatku duduk. Perempuan itu menatapku. “kim yoo ra.” Panggilnya antusias. Aku mengguratkan senyumku kepada sahabatku ketika aku masih duduk dibangku SMA. Seketika sunggyu, lelaki yang dari tadi aku perhatikan menghampiri perempuan ini. Mengecup keningnya lalu memeluknya. Perasaan ini muncul lagi. Perasaan hancur dan sakit menjadi satu didada ini.
Aku bangkit, mencoba berjalan meninggalkan mereka tanpa satu katapun.
“yoora, kau tidak ingin pulang dengan kami?” perempuan itu memanggilku yang sudah berdiri dan berjalan meninggalkan mereka. Aku membalikan badanku tersenyum dan sedikit menggeleng. Aku menatap kearah sunggyu yang menatapku namun tidak ada guratan senyum diwajahnya.
*
Sepanjang malam, aku hanya duduk didepan layar komputerku. Mencoba mengetikan kata-kata sampah dan berusaha melupakan kejadian didalam seluruh hidupku.
“mana uang yang kemarin? Kau belum memberikannya padaku.” Ayahku membuka pintu kamarku dan menatapku sinis. Bau alkohol langsung menyeruak dikamarku.
“besok baru aku ambil.” Ucapku memunguti kertas yang baru saja diprint.
“kau itu bodoh? Aku butuh uangnya sekarang! Dasar anak tidak bisa diandalkan! Aku menyesal mempunyai anak sepertimu!” suara ayahku meninggi diikuti siara bantingan pintu kamarku. Yaa, bahkan ayahku pun tidak mau menganggap aku sebagai anaknya. Hidupku hanya dipenuhi dengan ejekan, gunjingan, dan tatapan sinis orang orang yang melihatku. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini tanpa bantuan dari siapapun dan tanpa orang orang yang mencintaiku.
*
Pagi ini, seperti biasa, aku harus pergi mengirimkan smeua cerita-cerita aneh yang aku buat beberapa hari yang lalu. Berjalan melewati pertokoan, memasuki kantor pos, penerbit, dan majalah aku lalui tanpa bantuan orang lain. Hingga sore tiba pun aku masih harus mengirimkan seluruh ceritaku.
Tapi berbeda dengan hari ini, seluruh kertas kertas ceritaku masih ada digenggaman tanganku. Semua yang aku sambangi menolaknya dengan alasan ceritaku sudah tidak laku atau apalah alasan orang-orang menolaknya. Aku masih berjalan membawa setumpuk kertas dan membiarkan perutku kelaparan.
“biar kubantu.” Suara itu terdengar ketika aku hampir saja terjatuh ketika berjalan ditrotoar yang sangat ramai. Sunggyu berdiri dihadapanku sambil memegangi beberapa kertas yang hampir terjatuh.
“aku bisa sendiri.” Ucapku meraih kertasku lalu berjalan menjauhinya.
“kau yakin? Kau sudah makan?” sunggyu mengejarku yang terpincangpincang. Aku terus melangkah menninggalkan sunggyu walau hampir semua kertas yang kubawa berjatuhan dan langkahku benar benar tidak tertata rapi.
“sunggyu-ya.” Suara perempuan yang sama seperti suara perempuan semalam memanggil sunggyu. Aku melambatkan langkah kakiku ketika aku sadar sunggyu pasti sudah tidak mengejarku lagi.
Aku melangkah dengan tergesa-gesa. Perlahan, aku membalikan tubuhku mencoba mecari sunggyu. Tepat, dia sudah tidak mengejarku. Langkahnya berubah 180 derejat. Dirinya juga sudah tidak sendiri, dia sudah pergi dengan perempuan lain sekarang.
Perasaan ini muncul lagi, rasa sakit yang seharusnya tidak muncul lagi sejak 3 tahun yang lalu.  Aku tidak bisa menahan perasaan ini untuk yang kesekian kalinya. Entah kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan pahit dikehidupanku yang aku jalani saat ini. Kenyataan pahit yang bertubi tubi datang kearahku dan aku tidak bisa melewatinya sama sekali.
*
Malam ini, terasa kelam seperti biasa. Aku hanya terdiam diatas sebuah kursi coklat tepat menghadap kearah jendela yang hanya ditutupi oleh selembar kain tipis yang menari diterpa angin malam yang masuk lewat celah kecil jendela.
Aku memperhatikan sebuah foto yang sudah lapuk dan terbakar disisi kanan dan kirinya. Sebuah foto yang mengingatkanku kepada sebuah peristiwa yang tidak mungkin aku ulang. Namun, peristiwa itu pun yang membawaku menjadi sulit menjalani hidup saat ini.
Saat itu, pesta kelulusan telah berakhir. Tapi untukku kebahagiaan dihari itu belum berakhir sebelum aku melaksanakan rencana terakhir dihari ini. Dengan senyum yang sangat bahagia, aku berjalan melewati trotoar yang ramai. Saat itu orang-orang disana tidak menatapku dengan sinis, bahkan mereka tidak memperdulikanku saat itu.
Aku memasuki sebuah restoran kecil dan bertemu seorang lelaki yang sudah lama aku simpan perasaanku untuknya. Ya, sunggyu. Aku memperhatikannya yang menungguku dari balik kaca restoran itu. aku mengguratkan senyumku lalu masuk kedalam restoran dan menghampirinya dengan senyum yang merekah.
“maaf telah menunggumu lama.” Ucapku santai. Sunggyu tersenyum, senyuman yang selalu ia tunjukan padaku ketika ia bertemu denganku. Senyuman yang sama bahkan ketika ia menyuruhku untuk tegar dalam menjalani hidup.
“aku juga baru datang, mengapa kau mengajakku bertemu? 3 jam yang lalu kan kita baru saja bertemu dipesta kelulusan.” Tanyanya dengan wajah bingunnya. Aku terdiam sejenak saat itu mempersiapkan diriku sendiri dan memperlambat detak jantungku yang dari tadi berdetak sangat cepat.
“aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Ucapku sedikit gugup. Sunggyu menatapku menanti ucapanku selanjutnya. “sunggyu-ya, aku menyukaimu dan aku tidak tahu bagaimana cara memberitahumu, aku hanya bisa memberikan ini padamu.” Ucapku menunduk sambil memberikan sebuah kotak berwarna merah darah yang berisi coklat yang aku buat semalaman.
Beberapa menit kami terdiam, aku memberanikan diri mengangkat kepalaku dan menatap wajah sunggyu.”wae? kau tidak menyukaiku?” tanyaku pelan dengan tatapan bingung.
“mian, yoora-ya. Aku...”sunggyu mulai berbicara. “beberapa saat yang lalu, aku baru saja menyatakan perasaanku pada chae rin.” ucapan sunggyu membuatku ternganga.
“chae..rin...”
“iya, lee chae rin. mian yoora, tapi, kenapa kau tidak menyatakan itu sejak dulu? Aku...”
“gwencanha, chae rin, chae rin orang yang baik. Dia juga cantik, aku pikir dia juga pantas untukmu.” Ucapku mencoba menahan semua perasaanku yang hancur lebur mendengar ucapan sunggyu tadi. Kata-kata yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Sesuatu yang ada diluar batas pemikiranku jika sunggyu menyukai chaerin, sahabatku sendiri.
Aku menghela napas panjang bertahan agar aku tidak menangis. Aku mengambil ponselku menahan tanganku agar tidak bergetar.
“sepertinya aku harus pergi, gyu-ya.” ucapku bangkit dari tempatku.
“kau mau aku antar?” tanyanya yang tahu jika wajahku tidak seceria tadi.
“aku bisa pulang sendiri.” Jawabku tersenyum, berusaha sesumringah sebelumnya. “ahh,” aku membalikan tubuhku. “selamat atas kelulusanmu, dan selamat karena telah menemukan perempuan sebaik chae rin.”
Aku melangkah keluar restoran itu. aku tidak memikirkan apa yang sedang dipikirkan sunggyu sekarang. Aku hanya berjalan berharap semua rasa yang hancur lebur ini terbang mengikuti angin yang menghembuskan rambutku.
*
Hari itu belum berakhir, semua kesedihan itu masih berlanjut dihari yang kelam itu. setelah keluar dari restoran itu, aku tidak berniat untuk pulang sama sekali. Aku terus berjalan dan tidak memperdulikan sunggyu yang masih berdiri memperhatikanku.
Aku terus berjalan dan membiarkan air mataku yang terus menetes. Aku tidak memperdulikan orang-orang yang menatapku bingung. Dipikiranku saat itu hanyalah kehancuran yang mendalam dan satu pertanyaan: “kenapa?”
Aku menoleh kebelakang mendengar seseorang memanggil namaku, aku memperhatikan beberapa orang dibelakangku yang hampir semuanya menatapku. Mataku masih buram karena air mata yang masih memenuhi mataku. Hingga akhirnya aku menoleh kekiri, sebuah motor besar melaju sangat kencang. Aku membatu menatap motor itu. dan “crashhhhhh....” ya, hanya kejadian itu yang kuingat.
Setelah kejadian tabrakan itu, aku hanya berharap aku sudah berpindah kehidupan. Tapi ternyata harapanku masih ditunda. Ketika aku terbangung, aku sudah berada diruang perawatan dirumah sakit. Ketika mataku terbuka, entah kenapa aku tersenyum menatap seorang lelaki dengan wajah muramnya berdiri didepanku.
“kau tidak semuram biasanya, aku masih hidup.” Ucapku menenangkan hatinya dengan nada sedikit bercanda.
“apa ini semua karenaku?” tanyanya pelan. Aku terdiam menatapnya lalu menggeleng pelan. “maafkan aku.” Ucapnya membuatku sedikit bingung.
*
Kejadian itu, kecelakaan itu, seharusnya sudah terkubur rapat dalam ingatanku. Tapi, kecelakaan itu, hari itu, adalah hari terburuk yang pernah ada dalam hidupku. Karena kejadian hari itu, aku kehilangan semuanya. Kehilangan lelaki yang aku cintai dan.... kehilangan kaki kiriku. Kaki kiriku harus diamputasi karena luka yang cukup parah akibat kecelakaan itu. dan itu membuatku kehilangan semuanya. Kehilangan pekerjaan, kehilangan harapan, kehilangan impian dan kehilangan kepercayaan ayahku.
Aku kini, hanyalah sampah yang hanya bisa dipandang sebelah mata oleh orang yang melihatku. Seorang perempuan buntung yang jika berjalan harus dibantu dua tongkat. Seorang perempuan buntung yang hanya bisa bermimpi tanpa tahu akan hasilnya. Dan seorang perempuan buntung yang kehilangan semua harapannya.
Apakah ini jalan untukku? Semuanya kulakukan sendiri sekarang. Bahkan ayahku pun hanya menganggapku sampah. Aku, hanya berharap, jika esok hari masih datang, aku hanya ingin satu. Cabutlah nyawaku, aku sudah bosan melihat semua kesenangan tanpa aku merasakannya.
*end*

June 18, 2012

a Fast Relationship (one shoot)



Sekolah sangat sepi. Ya, jam pelajaran memang sudah selesai dari setengah jam yang lalu. Kelas kelas yang memenuhi lorong sekolah terlihat bisu, hanya suara langkah manusia yang terdengar melewati lorong lantai 3 sekolah itu.
Lee byunghun berjalan pelan menggendong tasnya dengan satu tangannya sementara tangan kanannya ia letakan disaku celananya. Sesekali ia memperhatikan keluar jendela kelas yang ia lewati. Namun langkah kaki byunghun langsung berhenti ketika ia memperhatikan sebuah ruang seni yang pintunya terbuka lebar. Byunghun bukan memperhatikan kelas yang kosong, melainkan seorang perempuan yang sedang berusaha meraih sebuah lukisan besar bergambar semak belukar yang tergantung tinggi didinding.
Byunghun memperhatikan perempuan itu dengan seksama, seketika dengan langkah cepat ia menghampiri perempuan itu.
“hampir saja.” Ucap byunghun memegangi lukisan yang hampir saja mengenai kepala perempuan itu ketika perempuan itu berusaha meraih lukisan.
“huuhh, gomawo.” Balas perempuan itu tersenyum meraih lukisan yang ada ditangan byunghun.
Tanpa kata, perempuan itu mengambil kain basah lalu membersihkan lukisan itu. byunghun hanya diam memperhatikan gerak gerik perempuan itu.
“bantu aku.” Ucap perempuan itu memberikan lukisan kepada byunghun mengisyaratkan agar byunghun membantunya meletakan kembali lukisan itu. tanpa kata, byunghun langsung menuruti perintah perempuan itu.
                                                        *          
“kenapa kau membersihkan seluruh lukisan diruang seni? Itu kan tugas pembersih sekolah.” Tanya byunghun ketika ia berjalan pulang dengan perempuan yang bernama jang mirin itu.
“aku sudah melakukannya sejak kelas 1.” Jawab mirin tersenyum menatap byunghun yang ekspresinya terlihat tidak berubah.
“micheoso.” Sahut byunghun menahan tawanya.
“wae? Ahh, hampir satu tahun kita sekelas, tapi baru kali ini kita begitu dekat. Kau tahu, aku kira kau adalah anak yang dingin dan menyebalkan, tapi, gomawo ya kau sudah membantuku tadi.” Cerita mirin panjang lebar dengan nada bicara menandakan perempuan yang sangat ceria.
“hanya sedikit.” Jawab byunghun santai.
*
“annyeong.” Ucap mirin duduk dikursinya setelah menyapa temannya yang duduk persis didepannya. Temannya sibuk membaca buku tanpa menggubris mirin. Tapi mirin tidak memikirkannya, ia langsung meletakan tasnya diatas meja dan menyapa byunghun yang duduk dibaris sebelahnya dengan melambaikan tangan dan mengguratkan senyum manisnya. Lagi-lagi byunghun hanya menyeringai lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela kelasnya.
*
Hari sudah mulai gelap, cuaca sudah benar benar dingin. Byunghun baru saja selesai dari latihan basketnya, ia keluar sekolah dengan syal abu-abu melingkar dilehernya.
Byunghun berjalan pelan sambil menggosok-gosokan kedua telapak tangannya berharap hawa dingin malam ini tidak menembus tulang tulangnya.
“sedang apa perempuan itu disana?” gumam byunghun sendirian memperhatikan mirin yang sedang membagi susu hangat kepada beberapa anak kecil yang berada ditaman bermain didekat sekolahnya.
Lagi-lagi byunghun terdiam memperhatikan mirin hingga semua anak ditaman itu kembali kerumah masing-masing.
Byunghun berjalan menghampiri mirin yang membereskan tasnya yang sudah kosong.
“kau sedang apa?” tanya byunghun datar. Mirin menatap kaget dari duduknya lalu tersenyum seceria biasanya.
“membagikan susu hangat.” Jawab mirin kembali menggendong tasnya.
“masih dengan pakaian seragam seperti ini?” tanya byunghun lagi. Mirin yang kaget akan pertanyaan byunghun, memperhatikan dirinya yang masing lengkap menggunakan seragam sekolahnya. “ayo pulang.” Ajak byunghun melangkahkan kakinya lebih dulu.
Tanpa kata, mirin mengikuti byunghun dibelakang sambil menahan hawa dingin yang menyapa tubuhnya.
“kenapa lama sekali?” byunghun berbalik menatap mirin yang berjalan sangat lambat sambil menahan dingin. Byunghun diam sejenak lalu melepas syalnya dan melingkarinya dileher mirin. “ini lebih baik.” Ucap byunghun sedikit kikuk. “kajja.” Byunghun menggenggam tangan mirin dan memasukannya kedalam saku baju hangatnya. Mirin hendak melepaskannya tapi byunghun menatapnya sinis.
*
“Saat itu musim semi, tahun ajaran baru dimulai, aku berharap aku bisa sekelas dengannya. Perempuan yang membuat jantungku berdegup kencang ketika menatapnya. Bukan karena kecantikannya, tapi karena tingkah lakunya yang polos, dan senyumnya yang selalu ceria. Aku jatuh cinta padanya.”
“hampir satu tahun, kenaikan kelas semakin dekat, tapi kenapa aku baru bisa mendekatinya akhir akhir ini? Jantungku semakin kencang jika aku memikirkannya. Aku harap aku bisa memilikinya.” Suara gumaman hati byunghun terucap ketika ia memikirkan mirin pagi ini.
“annyeong.” Suara mirin menghamburkan semua pikiran dan ucapan hatinya. Ia melihat perempuan yang ia pikirkan berdiri dihadapannya sambil meletakan sebotol susu diatas mejanya. Tanpa banyak bicara, mirin langsung duduk dikursinya dan meletakan tasnya diatas meja, seperti biasa.
Byunghun memperhatikan susu itu bingung, lalu melanjutkannya dengan menatap mirin yang sedang sibuk memasukan isi pensil kedalam pensil birunya dan mulai menulis.
*
“yaa~ byunghun-ah.” Suara itu terdengar jelas ditelinga byunghun ketika byunghun sedang berdiri diatas sebuah jembatan sambil memegangi susu yang diberikan mirin pagi tadi.
Byunghun memperhatikan mirin yang berjalan menghampirinya, dengan cepat ia memasukan susu itu kedalam saku jaketnya. Byunghyun mengangkat sedikit satu sudut bibirnya lalu berjalan menjauhi mirin.
“ya? Odiga?” mirin sedikit berlari hingga berjalan mundur sambil menatap byunghun yang berjalan pelan dihadapannya. “odi?” pertanyaan itu tidak dihiraukan oleh byunghun sama sekali. Ia tetap berjalan. “kau meminum susu yang aku berikan? Anggap saja ucapan terimakasihku malam itu.” mirin menghentikan langkahnya namun lagi-lagi byunghun tetap berjalan.
“yaa~ kau itu benar benar menyebalkan ya, kau itu dingin.” Mirin lagi lagi berjalan mundur didepan byunghun. “kau juga tidak pernah tersenyum, apa kau seperti ini keorang lain? Uh, menyebalkan.” Ucap mirin kesal menatap wajah byunghun yang tidak memperhatikannya sama sekali.
“berhenti!” mirin merentangkan tangannya membuat byunghun yang hampir menabraknya terpaksa berhenti. Byunghun menatap mata mirin sekarang. “aku akan membuatmu tertawa sekarang, ah tidak, tersenyum minimal.”
Mirin mulai menampilkan keaegyo-annya hingga ekspresi ekspresi lucu yang ia buat dari wajahnya. Namun tidak ada senyum sedikitpun yang tergurat dari bibir byunghun.
“tidak lucu ya?” mirin menggarukan kepalanya dan mengerucutkan bibirnya.
“kau lucu, sangat lucu.” Byunghun mengusap pelan rambut mirin dan tersenyum senang menatap wajah mirin yang saat itu merasa kesal pada dirinya sendiri. Mirin terperangah menatap senyum byunghun yang baru pertama kali ia lihat.
“kau lebih tampan kalau tersenyum.” Ucap mirin senang.
*
“kau sedang apa?” tanya byunghun masuk kedalam kelas yang hanya ada mirin didalamnya yang sedang merasakan udara sore itu dari jendela yang ia buka lebar.
“ani.” Jawab mirin tidak seceria biasanya. Ia memperhatikan sepasang burung yang sedang terbang didekatnya. Byunghun ikut memperhatikan keluar jendela sambil berdiri dibelakang mirin dengan kedua tangannya ada disebelah mirin.
“kau tidak seperti biasanya, kau sakit?” tanya byunghun masih memperhatikan keluar jendela. Mirin membalikan tubuhnya, dengan cepat byunghun berdiri disebelah mirin.
“aku hanya ingin lebih lama disekolah ini hari ini.” Jawab mirin pelan memaksakan senyum dari bibirnya. Byunghun hanya diam mendengar ucapan mirin. “kau kenapa disini? Kau mencariku?” tanya mirin kembali dengan nada cerianya dan senyum lebarnya.
“a.. ani, aku, aku hanya ingin mengajakmu pulang bersama.” Jawab byunghun sedikit gugup.
“kenapa kau gugup?” tanya mirin menepuk dada byunghun.
“ya. Kau, ishh.” Byunghun hendak memukul mirin namun menahannya. Mirin hanya tersenyum duduk dijendela yang terbuka itu.
“byunghun-ah, apa yang akan kau berikan kepada orang yang kau cintai jika orang yang kau cintai akan pergi untuk selamanya?” tanya mirin dengan nada serius. Byunghun menatapnya dalam.
“molla.”
“ya, kau ini. Menyebalkan. Tetap saja datar.” Ucap mirin kesal. Byunghun hanya tersenyum meraih tangan mirin dan menggenggamnya. Mirin hanya diam. “kau menyukaiku?” tanya mirin membuat byunghun menatapnya. Byunghun mengangguk pelan. “wae?”
“haruskah menggunakan alasan jika seorang mencintai orang lain?” byunghun berbalik bertanya. Mirin berbalik diam mendengar alasan byunghun.
Byunghun yang tadi berdiri disebelah mirin sekarang merubah posisinya menjadi berdiri dihadapan mirin. Ia meraih dagu mirin membuat mirin menatap matanya yang perlahan terpejam. Mirin yang melihat itu semua ikut memejamkan matanya. Bibir mereka bertemu satu sama lain. Ciuman pertama yang sama-sama mereka rasakan terasa hangat dengan ditemani sinar matahari yang masuk melalui jendela dibelakang mereka.
*
“kau tahu, aku tidak menyukaimu.” Suara mirin ketika dirinya dan byunghun pulang bersama dari sekolah mereka sore itu. tangan byunghun yang menggenggam erat tangannya iya gerak-gerakan sedikit.
“aku tidak percaya.” Sahut byunghun santai menatap kearah lain.
“jika aku menyukaimu aku akan menyakitimu nanti, kau juga seharusnya tidak boleh menyukaiku.”
“mirin-ah, aku menyukaimu dan aku juga tahu kalau kau menyukaiku, apakah sulit untuk menggabungkan cinta kita?” ucap byunghun kesal selesai mendengar mirin berbicara.
“aku hanya tidak ingin menyakitimu kelak.” Sahut mirin pelan.
*
Tepat pukul 8 pagi. Byunghun terlihat sangat buru-buru menaiki tangga sekolahnya. ya, hari ini ia hampir terlambat karena semalam ia harus mendata seluruh siswa basket yang akan mengikuti lomba.
Dengan sangat terengah-engah byunghun membuka pintu kelasnya. Beruntung, guru yang mengajar belum datang. Siswa dikelas itu juga masih sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri.
Byunghun melangkah santai kemejanya. Ia memperhatikan meja mirin yang kosong. “tidakbiasanya ia terlambat.” Gumam byunghun dalam hati sambil melihat kearah pintu gerbang sekolah yang perlahan ditutup.
Byunghun duduk dikursinya memperhatikan mejanya yang aneh. Ia mengambil sebotol susu yang kemarin mirin berikan untuknya. “dia datang?” gumamnya lagi dari dalam hatinya. Tiba tiba suara pintu kelas terbuka terdengar ditelinga byunghun. Refleks, byunghun berbalik melihat kearah pintu berharap mirin datang. Jauh dari yang dipikirkan byunghun, ternyata kim songsaenimlah yang masuk kedalam kelas.
Pikiran byunghun mulai kacau, lalu ia mengambil secarik kertas kecil yang dari tadi diam diatas mejanya.
“mian ^_^aku harus pergi. Byunghun-ah, saranghae J chinguya! -jang mirin-“ tulisan pendek itu dibaca pelan oleh byunghun. Ia sadar sekarang, mirin telah pergi. Lalu, tanpa memperdulikan kim songsaenim yang sedang mengajar, byunghun berlari keluar kelas berharap mirin masih ada disekolah ini.
*
“dia akan pindah ke spanyol mengikuti ayahnya yang dinas disana. Itu mobilnya.” Suara seorang guru yang berdiri didepan gedung sekolah sambil menunjuk mobil hitam yang keluar gerbang sekolah tersebut. Byunghun yg masih terengah-engah berlari berusaha mengejar mobil tersebut. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, mobil mirin berlalu begitu cepat meninggalkan byunghun yang terdiam diluar sekolahnya.
*
“apa aku terlalu cepat mencintaimu, sehingga kau terlalu cepat meninggalkanku? Kenapa kau tidak berkata dari sebelumnya bahwa kau harus pergi?”
“karena aku mencintaimu dan tidak ingin menyakitimu”