Cast::
·
BEAST
“DONGWOON
·
yoon
ji rin (author)
·
Min
kyung
GENRE: Romantic, Sad
*
Aku
terdiam dalam lamunan ditengah larutnya malam. Suara rintik hujan mulai
terdengar. Aku mengalihkan pandanganku kearah jendela yang tepat dihadapanku.
Kacanya yang semula bersih secara perlahan ditutupi oleh titik titik gerimis
yang datang disertai angin yang menggoyangkan serpihan dedaunan.
Aku
menggerakan tanganku pelan berusaha meraih gorden untuk menutupi jendela itu.
aku terlihat kaku dan tidak bisa hidup. Pikiranku terus menerawang jauh tentang
sesuatu yang menyedihkan.
Flashback 3 tahun lalu:::
Setelah
hari kelulusan sma, min kyung mengajakku kerumahnya. Ia bilang ada yang ingin
ia bicarakan. Dengan perasaan yang sumringah aku tidak menolak ajakan min
kyung, karena sebelumnya aku juga ingin menyampaikan sesuatu yang menurutku
penting kepadanya.
Aku
masuk kedalam ruangan yang sangat besar dengan corak merah diselingin merah
jambu dibeberapa sudutnya. Aku hafal betul ruangan ini. Ruangan yang dipenuhi
oleh warna warni itu bahkan sampai pada tempat tidur yang dihiasi berbagai
warna. Ini kamar min kyung.
“aku
atau kau dulu yang bercerita?” min kyung menarik kursi yang semulai ada didepan
meja belajarnya mendekat kearahku yang duduk disudut tempat tidurnya.
“sepertinya
kau sudah tidak sabar, jadi kau duluan saja yang bercerita.” Pintaku walau
hatiku benar benar sudah tidak sabar untuk memberitahukan sesuatu pada
minkyung.
“aku,
sebenarnya aku sudah memendam ini sejak lama. Kau tau son dongwoon kan?”
tatapanku yang semula berbinar sedikit menyipit mendengar nama lelaki yang
disebut oleh min kyung. Aku terdiam mencoba mengembalikan ekspresi antusiasku
sambil sedikit mengangguk.
“aku
menyukai lelaki itu, sejak kita masuk kelas 3, aku mulai menyukainya. Lelaki
itu benar benar tipe idamanku. Aku ingin sekali mendekatinya.... kenapa kita
lulus begitu cepat ya, ji rin??” aku melihat minkyung menceritakan semua
perasaannya dengan wajah yang riang. Aku melihat ada bulir cinta dimatanya.
Semakin aku melihatnya, semakin aku sudutkan niatanku untuk menceritakan
sesuatu pada sahabatku ini.
“kalau
begitu, kau bisa masuk universitas yang sama dengannya.” Ucapku walau awalnya
aku tidak ingin mengatakannya.
“sepertinya
tidak mungkin.” Wajah minkyung seketika berubah nanar. “aku, aku harus dirawat
dirumah sakit mulai besok.” Ucapan minkyung yang sulit dicerna oleh otakku terdengar
ditelingaku.
“kau
bercanda?” tanyaku mencoba membiarkan suasana agar minkyung tidak terlihat
sedih. Usahaku gagal, aku melihat minkyung menghapus air matanya yang hampir
jatuh.
“aku,
mengidap kangker hati stadium lanjut. Dan sepertinya hidupku tidak akan lama
lagi.” Aku tersentak kaget mendengarnya. Wajah minkyung tidak pernah terlihat
muram sebelumnya, bahkan saat ini, saat ia menceritakan tentang penyakitnya,
senyumnya masih terus menemani wajahnya.
Aku
terdiam, aku langsung memeluknya dalam. Aku benar benar tidak bisa
menyembunyikan perasaan sedihku kepada sahabat yang selalu menemaniku sejak
kami berada dikelas 1 sma. Aku menangis sambil mengusap punggung minkyung.
“gwencanha,
ji rin-ah, aku tidak apa-apa, aku bisa melewatinya. Aku yakin. Lagipula aku
masih punya orang yang menyayangiku, termasuk kau. Kau tidak akan
meninggalkanku kan?” suara minkyung mulai berat. Aku langsung merangkulnya
kembali sambil berusaha tersenyum.
“lalu
apa yang ingin kau ceritakan padaku?” minkyung menghapus air matanya lalu
menatapku santai disertai senyumnya.
Aku
terdiam, menatap kearah lain memikirkan tentang ceritaku. “aku lupa...” ucapku
membohonginya sambil tertawa.
“ah
kau ini, oh iya, ada satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu. Tapi kali ini
hanya kau yang boleh mengetahuinya. Kau harus janji padaku.”
“mwoya?
Ppali malhae!!!” ucapku sedikit kencang dengan senyum.
“aku
ingin menikah dengan orang ini.” Minkyung meraih sebuah buku berwarna merah dan
menunjukan foto seorang lelaki. Son dongwoon. aku kembali terpaku. “jika aku
menikah dengannya, hidupku yang sebentar ini akan terasa lebih bermakna.”
::::flashback end
Aku
bangkit, melangkah berat kearah tempat tidurku. Tiga tahun berlalu, tanpa
minkyung tahu saat itu aku sudah berpacaran dengan son dongwoon. tapi, saat ini
lebih berat dibanding saat itu. aku menjalani hari hariku sekarang, dihantui
dengan rasa bersalahku padanya.
*
“kapan
kau akan membuat undangan?” suara ibu terdengar ketika aku bergegas turun dari
kamarku.
Aku
menghentikan langkahku, mengambil apel dimeja makan, “ibu, aku bahkan belum
lulus kuliah. Satu tahun lagi paling tidak.” Ucapku melahap apelku. “sudahlah,
aku ingin kerumah sakit, sampai jumpa nanti sore ibu.” Aku mencium pipi ibuku
dan langsung bergegas kerumah sakit.
*
MINKYUNG POV
Matahari
pagi ini memang terlihat lebih cerah dari biasanya. Aku memperhatikan selang
infus yang terus mengalirkan cairan kedalam tubuhku lebih dari 3 tahun ini.
Setiap hari, selang ini harus diganti, tapi kenapa hidupku tidak ikut berubah.
Terlalu lama seperti ini sangat menjenuhkan. Kenapa kau tidak mencabut nyawaku
sejak awal. Pertanyaan itu masih terus menyeruak di pikiranku.
“jangan
terlalu sering melamun.” Suara ji rin benar benar mengagetkanku. Senyumannya
yang sangat manis terlihat dihadapanku. “kau sudah makan?” tanyanya sambil
mengeluarkan beberapa buah dari tas plastik yang ia bawa. Ji rin juga mengganti
gelas yang ada dan menggantinya dengan yang baru. Dia benar benar sahabat
terbaikku.
“bagaimana
kuliahmu?” tanyaku masih terus memperhatikan perempuan ceria satu ini.
“baik
baik saja, tidak ada yang spesial.” Jawabnya menyuapi buah apel yang baru
selesai ia kupas.
“carilah
kekasih agar terasa lebih spesial.” Usulku sambil menahan tawa.
“bukankah
dokter dirumah sakit ini banyak? Selama aku bolak balik kesini, banyak dokter
yang membicarakanmu, sepertinya kau idola disini. Apa kau menyukai salah satu
dari mereka.” Aku menyadari aura wajahnya berubah namun ia tetap sempat
bercanda.
“aku
hanya menyukai son dongwoon.” ucapku pelan kembali memperhatikan sinar matahari
yang masuk kedalam ruangan.
YOON JI RIN POV
Ucapan
itu lagi-lagi muncul. Aku harus kembali membiasakan ekspresi wajahku. Mendengar
kata-kata itu membuatku merasa bersalah pada perempuan yang terlihat kasihan
dihadapanku ini.
Aku
menarik kursi mendekati min kyung lalu duduk. Aku menatapnya dalam, “apakah kau
benar-benar menyukai son dongwoon?” tanyaku perlahan walau sedikit berat.
“hem,
neomu manhi.” Minkyung tersenyum mengangguk cepat.
“lalu
apa yang aku bisa lakukan untukmu?” tanyaku sedikit berpikir.
“kau
pernah bercerita padaku, kalau kau satu kampus dengan son dongwoon, aku hanya
ingin kau menyuruhnya untuk datang menjengukku.” Jawab minkyung juga dengan
ekspresi berpikir. Aku terdiam. “hahahaha, aku pikir itu sulit, mungkin son
dongwoon itu juga sudah melupakanku.”
“lain
kali aku akan menyuruhnya menjengukmu.” Ucapku pelan menyenangkan hati
minkyung.
*
AUTHOR POV
Ji
rin berjalan cepat melewati lorong lorong rumah sakit setelah jam besuknya
sudah habis. Ia memperhatikan ponselnya lalu turun dengan menggunakan lift.
Tanpa
hitungan menit, jirin sudah berada diluar rumah sakit. Dihadapannya ada sebuah
mobil hitam. Ji rin tersenyum masuk kedalam mobil itu.
“mau
sampai kapan aku selalu menjemputmu dirumah sakit?” suara seorang lelaki hampir
bersamaan terdengar dengan suara pintu yang ditutup oleh ji rin.
“sampai
minkyung sembuh.” Ji rin menjawab dengan senyumnya yang merekah.
*
DONGWOON POV
Aku
memarkirkan mobilku tak jauh dari taman air mancur. Aku merasa ada hal aneh
ketika aku menatap kekasihku yang masih terdiam disebelahku. Dia sedikit
berbeda dan lebih sering melamun akhir akhir ini.
“ayo
turun, mau sampai kapan kau terdiam seperti itu.” ucapku sambil mengusap lembut
rambutnya yang halus. Ia terlihat kaget namun senyumnya langsung merekah seketika.
Aku
melangkah bersamanya menuju pusat taman air mancur. Disekelilingku masih banyak
deretan manusia yang menikmati musim gugur yang sedikit dingin ini. “kapan kita
akan cetak undangan?” aku mencoba bertanya pada ji rin, menghilangkan zona diam
diantara kita.
“ya~
kenapa kau jadi seperti ibuku? Kita bahkan belum lulus..” suaranya meninggi.
Aku merasakan jirin yang ceria lagi.
“aku
hanya ingin cepat cepat menikah denganmu.” ucapku santai meraih dan menggenggam
tangannya.
“kita
akan secepatnya menikah, pasti.” Aku merasakan jemari jirin membalas
genggamanku.
“eonje?”
“setelah
kita lulus, kita langsung membuat undangan.”
“yaksok?”
wajah jirin berubah terlihat seperti ada yang menahannya untuk bicara. Dia
tidak menjawab ucapanku. Ji rin hanya diam lalu memeluk lenganku tanpa kata.
Tidak seperti biasanya.
“aku
hanya tidak ingin kehilanganmu.” Ucapnya pelan.
*
JIRIN POV
Enam
bulan sudah berlalu, tanpa kusangka aku dan juga dongwoon dapat lulus sebelum
target yang kita buat. Aku sangat senang saat ini.
Wisuda
kelulusanku baru saja selesai. Aku dan dongwoon menikmati musim dingin disebuah
cafe kecil disudut jalan, cafe dimana tempat dongwoon menyatakan perasaannya
saat pesta kelulusan SMA dulu.
“bagaimana
jika besok kita memilih undangan untuk pernikahan kita?” suara dongwoon cepat.
“kenapa
kau terlalu terburu-buru, kau bahkan belum punya pekerjaan. Mau makan apa aku
dan anak-anakku nanti jika ayahnya seorang pengangguran.” Sahutku menahan
tawaku.
“aku
bisa mencari pekerjaan setelah kita menikah, lagipula perusahaan ayahku juga
akan aku pimpin nanti.” Dongwoon mencari alasan.
“dongwoon-ie,
nanti kita pasti akan menikah.” Ucapku meraih tangan dongwoon dan
menggenggamnya.
“kenapa
kau selalu berkata seperti itu?” wajah dongwoon berubah serius. Aku tahu dia
pasti sedikit marah.
Beruntung,
ponselku berdering, sebuah pesan singkat muncul dilayar ponselku. Aku tertegun
membaca pesan itu berulang ulang. Dengan cepat aku bangkit dan memakai blazer
oranyeku.
“ada
apa?” tanya dongwoon yang ikut bingung.
“minkyung,
minkyung tidak sadarkan diri.” Jawabku panik.
“ayo
kita kesana.” Dongwoon menarik tanganku menuju mobilnya yang terparkir tepat
didepan cafe.
*
15
menit kemudian, aku dan dongwoon sampai dirumah sakit. Beruntung, Tuhan masih
menginginkan minkyung untuk hidup. Sesaat sebelum aku sampai, minkyung sudah
sadar. Tanpa pikir panjang, aku berlari memeluknya.
“aku
tidak apa-apa, aku akan tetap hidup.” Ucapnya menepuk punggungku.
“jangan
seperti ini lagi.” Ucapku menahan agar air mataku tidak jatuh.
Minkyung
hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya yang tadi menatapku sekarang beralih
keseorang lelaki yang berdidi didekat pintu ruangan. Matanya berbinar menatap
dongwoon yang terdiam. Aku ikut menatap dongwoon, lalu kembali menatap minkyung
yang pipinya memerah.
“kenapa
kau tidak bicara padaku dulu jika kau membawanya kesini? Apa aku sudah cantik?”
minkyung membisikan kata katanya ditelingaku.
“dongwoon-ie,
kemarilah.” Ucapku menahan egoku sendiri.
Dongwoon
menghampiri aku dan minkyung, “kau baik-baik saja? Ji rin sangat mengkhawatirkanmu.”
Tanya dongwoon tanpa mengerti apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Minkyung
mengangguk tanpa menghilangkan sedikit senyum dari wajahnya, “gomawo kau mau
datang menjengukku.”
“bagaimana
perasaanmu?” tanyaku masih terlihat biasa-biasa saja.
“aku
sangat senang, terimakasih jirin-ie...” minkyung kembali memelukku. Air mataku
benar benar sudah tidak tertahan. Perasaan ini benar benar ingin membunuhku.
*
AUTHOR POV
“benar,
hanya tinggal tentukan tanggalnya dan menyebar undangan.” Suara ibu jirin
membuat jantung jirin berdegup ketika keluarga son dan keluarga ji rin
berkumpul makan malam dikediaman ji rin.
“kita
sudah menentukan gedung dan gaun pengantin. Kenapa kalian lama sekali untuk
menentukan tanggalnya.” Suara tuan Son membuat wajah ji rin semakin bingung.
Dongwoon yang duduk disebelah jirin memperhatikan wajah jirin dalam.
“kami
akan menentukannya dengan segera, paman.” Sahut jirin cepat dengan nada yang
tidak bergairah.
*
MINKYUNG POV
Dongwoon
datang tiga hari yang lalu membuatku bisa melupakan penyakitku ini. Wajahnya
benar benar bersinar. Andai aku bisa menyatakan perasaanku padanya. Setidaknya
aku bisa puas dan lega ketika ajal yang ada didepan mataku menghampiriku.
Tapi,
kenapa ji rin tidak menjengukku dua hari ini. Apa dia sakit, ahh, aku harap dia
tidak apa-apa.
AUTHOR POV
“kangker
hatinya sudah stadium akhir, hanya keajaiban yang mampu menolongnya.” Suara
dokter menggema ditelingan ji rin.
“bagaimana
dengan donor hati dok?” jirin mencoba tegar.
“sampai
sekarang tidak ada yang cocok. Jangan memaksakan dirimu. Sekarang, kita hanya
bisa membuatnya tersenyum dan bahagia disisa hidupnya. Lelaki yang waktu itu
kau ajak kemari, sepertinya nona minkyung menyukainya, sejak saat itu ia
kembali rajin meminum obatnya. Jadi saranku, sering seringlah ajak dia kemari.”
JI RIN POV
Aku
melangkah menutup ruangan dokter kim. Aku menangis, menutup mulutku agar suara
tangisanku tidak terdengar. Aku terus menangis hingga kakiku tidak kuat lagi
menahan tubuh dan penderitaanku. Lorong rumah sakit yang gelap dan air mataku
saja yang saat ini menemaniku. Haruskah aku merelakan dongwoon untuk minkyung?
*
“kenapa
kau membawaku kerumahmu?” tanyaku melangkah masuk kerumah super besar milik
keluarga son.
Rumah
yang besar ini, terlihat sangat sepi. Aku tidak melihat satu orang pun kecuali
penjaga rumah yang aku temui saat kami masuk kedalam. Aku memperhatikan ruang
tamu dan jam menunjukan pukul 11 malam.
“kenapa
kau diam disini, ayo..” dongwoon menarik tanganku menuju lantai atas dan masuk
kedalam kamar yang cukup besar. Aku semakin bingun dengan tingkah lakunya yang
aneh. “duduklah.” Dongwoon menyuruhku sambil menutup pintu kamarnya.
“mwonji?
Kenapa rumahmu sepi sekali?” tanyaku sangat santai.
“ini
sudah jam 11 malam, sudah waktunya tidur.” Dongwoon mengusap lembut pipiku.
Entah
apa yang ingin ia bicarakan padaku selarut ini didalam kamarnya. Dongwoon hanya
diam menatap wajahku. Aku mulai gugup, namun aku memberanikan diri menatapnya.
Menatap wajahnya yang tepat berada dihadapanku. Aku mengusap pelan pipinya,
entah kenapa aku ingin menangis.
“aku
milikmu, dan kau milikku.” Ucap dongwoon pelan mendekatkan wajahnya dan mencium
hangat bibirku. Aku menurunkan tanganku yang semula ada dipipinya, tanganku
terasa lemas mendengar ucapannya dan merasakan bibirnya. Aku merasakan ciuman
malam ini adalah ciuman yang berbeda dari ciuman yang pernah ia berikan padaku
sebelumnya.
Aku
melepaskan bibirku perlahan dan membuka mataku. Dongwoon tersenyum mencoba
mencium leherku dan melepas kancing kemejaku. Aku mengelak, menahan tangannya
yang hampir membuka kemejaku. “andwae.” Ucapku pelan dan terasa berat. Aku baru
sadar, dongwoon melakukan ini agar kita segera melaksanakan pernikahan, tapi
tekadku sudah bulat sekarang.
“kau
mengantuk?” dongwoon yang terlihat merasa bersalah mengeluarkan ucapannya. Aku
mengangguk pelan. “tidurlah denganku, aku berjanji tidak akan melakukan apapun
padamu. Aku tidak akan memaksamu.”
Aku
bangkit dan langsung memeluk erat dongwoon. Perasaan itu muncul lagi, perasaan
kehilangan yang sangat dalam itu muncul membuatku memeluknya semakin erat.
Maafkan aku dongwoonie, aku melakukan ini karena aku sangat mencintaimu dan
minkyung.
*
Matahari
menyusup masuk. Aku merasakan jemari dongwoon berselancar pelan diwajahku. Aku
membuka mataku perlahan, senyumannya langsung terpancar indah dihadapanku.
“tidurmu
nyenyak?” tanyanya pelan mengecup hangat keningku. Aku memperhatikan
sekelilingku dan sedikit mengecek pakaianku. Tidak ada yang berubah, pakaian
yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Dongwoon benar benar dapat dipercaya,
dan inilah salah satu alasan mengapa aku mencintainya.
Aku
mengangguk pelan, meraih tangannya dan menggenggamnya. Dongwoon mendekatkan
dirinya padaku, meletakan lengan kirinya diatas kepalaku. Aku memiringkan
tubuhku menghadap kedadanya yang bidang.
“aku
ingin, kau berjanji padaku akan sesuatu.” Ucapku pelan sambil membuat tanda
love dengan telunjukku didadanya.
“mwo?”
tanyanya memainkan rambutku pelan.
“kau
berjanji?” aku mengulangi ucapanku.
“hm,
aku berjanji.”
“tentang
hubungan kita, kau jangan pernah memberitahukannya pada minkyung ya.” Aku mulai
mencoba menjelaskan. “katakan padanya jika kau hanyalah temanku, iya, seorang
teman. Tidak lebih.” Aku sedikit menjauhkan tubuhku, menatap wajahnya dan
tersenyum.
“kau
tidak pernah menceritakan hubungan kita pada minkyung?” tanya dongwoon dengan
tatapan bingung.
“hmm.”
Lagi-lagi aku mengangguk.
“tapi
memang kenapa aku tidak boleh memberitahukan hubungan ini padanya?” pertanyaan
dongwoon membuatku berpikir.
“selama
ini, dia hanya tahu jika aku tidak punya seorang kekasih. Dia juga akan marah
jika aku memperkenalkan kau sebagai kekasihku saat ini.” Bibirku bergetar
menjelaskan semua kebohongan yang sangat berat aku ungkapkan pada dongwoon.
“jadi
kau malu memberitahukan kekasihmu yang seperti ini pada sahabatmu itu?”
“a...
anii~, tapiii....” aku mulai kehabisan alasan. “sudahlah, pokoknya kau harus
berjanji untuk itu.”
“dasar
kau.” Dongwoon mengacak-acak rambutku lalu memelukku. Maafkan aku dongwoon-ie.
Aku mencintaimu.
*
AUTHOR POV
Sudah
lebih dari dua minggu ji rin tidak menjenguk minkyung atau hanya sekedar mampir
kerumah sakit. Minkyung mulai was-was tentang jirin. Dia bahkan tidak tahu jika
jirin sudah lulus dari kuliahnya beberapa waktu lalu.
“aku
kesepian....” ucap minkyung menyaksikan beberapa anak kecil ditaman rumah sakit
bermain bola dari jendela kamarnya. Minkyung menggoyang goyangkan kakinya namun
ia sadar ia tidak cukup kuat berdiri dari kursi roda itu. dengan perasaan
terpaksa, minkyung mendorong kedua roda kursinya itu dengan kedua tangannya yang
kecil. Minkyung berniat untuk turun, setidaknya menghirup oksigen yang lebih
bebas dibanding oksigen yang ada diruangannya.
Minkyung
mendorong kursi rodanya keluar kamarnya. Tapi ia hampir saja menabrak seseorang
yang berjalan cukup cepat dihadapannya.
“ahh,
mianhada.” Ucap minkyung menunduk lalu menatap lelaki itu. “dongwoon-ie...”
ucapnya antusias. Dongwoon menatap minkyung dan mengingat wajahnya.
“ah,
minkyung-ssi, bagaimana keadaanmu?” tanya dongwoon ramah.
“aku
baik-baik saja, apa yang sedang kau lakukan disini?”
“aku
mengantar ibuku check-up hari ini. Kau ingin pergi?” tanya dongwoon lagi
memperhatikan minkyung dan kursi rodanya.
“aku
ingin ke taman.” Jawab minkyung tersenyum menatap lelaki idamannya itu dengan
sangat berbinar.
“biar
aku antar, seharusnya kau minta tolong suster untuk mengantarmu.” Dongwoon
menutup pintu kamar minkyung lalu mendorong kursi roda itu pergi.
Minkyung
tersenyum, merasakan perasaan cintanya yang menggebu didalam hatinya. Wajahnya
terlihat sangat cerah bahkan ketika dongwoon menghentikan kursi rodanya itu
dibawah sebuah pohon yang rindang.
“jika
kau ingin kembali kekamarmu, kau panggil suster saja.” Dongwoon menunjuk suster
yang berdiri tak jauh dari mereka.
“dongwoon-ie,
bisakah kita bicara sebentar?” minkyung menahan dongwoon untuk pergi.
“mian
minkyung-ssi, ibuku sudah menungguku. Mungkin lain kali.”
Hati
minkyung sedikit sedih mendengar ucapan dongwoon. dongwoon melangkah
meninggalkannya. Mata minkyung terus menatap lelaki tampan itu hingga punggung
dongwoon menghilang dari tatapannya.
“gomawo.”
*
JIRIN POV
Hampir
1 bulan aku tidak kerumah sakit. Selama itu pula, ibu minkyung sudah menelponku
5 kali untuk memberitahuku bahwa penyakit minkyung kambuh. Aku semakin kasihan
pada sahabatku itu. badannya pasti semakin kurus. Wajahnya semakin pucat. Aku
bahkan tidak mampu menatap wajah tirusnya jika aku menemuinya.
Apa
yang sebenarnya aku lakukan saat ini? Hanya diam, menunggu perempuan itu mati
dan menikah dengan dongwoon. aku bukan orang yang seperti itu, aku sudah
berjanji pada minkyung untuk membuatnya dekat dengan dongwoon. tapi, aku harus
memilih salah satu dari itu sepertinya keputusanku ini sudah tepat. Perlahan
menjauh dari dongwoon dan minkyung.
*
DONGWOON POV
Kemana
jirin? Satu bulan ini ia menghilang dengan alasan tidak jelas. Beribu alasan ia
berikan padaku namun tidak ada yang bisa aku percaya. Aku mulai bosan dan
sangat sangat merindukannya hari ini. Aku memutuskan untuk pergi kerumahnya dan
memastikannya apa dia baik baik saja.
Aku
menghentikan mobilku didepan rumah keluarga yoon, masuk kedalam. Kurang dari 5
menit, aku kembali lagi kedalam mobilku. Jirin sedang tidak ada dirumah. Ahh,
perempuan ini benar benar ingin membuatku gila karena merindukannya. Namun
dengan cepat, aku mengambil ponselku, mencari namanya dikontak ponselku dan
menghubunginya.
“kau
dimana?” tanyaku dengan nada kesal.
“aku
sedang dirumah seorang teman. Maaf aku sibuk.” Ji rin memutuskan teleponku.
Dengan perasaan sangat kesal, aku kembali melajukan mobilku cepat kerumah
sakit, aku berpikir, jirin pasti sedang bersama sahabatnya itu disana.
*
Aku
terus berjalan dengan langkah cepat masuk kedalam rumah sakit tempat minkyung
dirawat. Melewati beberapa ruangan dilantai satu dan melewati taman buatan yang
tepat berada ditengah rumah sakit tersebut. Aku melihat minkyung sedang terdiam
diatas kursi rodanya sambil membuat sesuatu dari kertas yang ia pegang.
Aku
menghampiri perempuan itu, ia terlihat sendirian tanpa jirin disebelahnya, “kau
sendirian?” tanyaku santai. Aku melihat ekspresinya yang terkejut akan
kehadiranmu namun dengan cepat senyumnya terurai diwajahnya.
“seperti
yang kau lihat.” Jawabnya santai.
“jirin
tidak kemari?” aku langsung ketopik pembicaraan.
“sudah
1 bulan ini jirin tidak menjengukku, mungkin dia sibuk.” Minkyung menarik sayap
dari burung kertas yang ia buat. Aku memperhatikan itu dengan sangat seksama
hingga ia mengagetkanku, “ada apa kau mencarinya?”
“tidak,
tidak ada apa-apa.” Ucapku pelan mengingat janjiku pada jirin.
“kalian
berdua tidak ada hubungan apa-apa kan?” minkyung kembali bertanya namun
pertanyaan ini terkesan aneh ditelingaku.
“kami....
hanya.... te man.” Jawabku bergetar.
“aku
senang mendengarnya.” Ucapan minkyung membuatku bingung. Apa arti kata
senangnya itu.
“aku
harus pergi.” Aku mulai bosan dan ingin cepat mencari jirin kembali namun
tangan perempuan ini menahan lenganku.
“ada
yang ingin aku ceritakan padamu. Tunggulah sebentar.”
JIRIN POV
Buah
yang ada ditanganku hampir saja terjatuh ketika aku menatap dari kejauhan
minkyung menggenggam lengan dongwoon. perasaan sakit itu muncul, dan pertanyaan
tentang apa yang dilakukan dongwoon saat ini membuatku hampir terjatuh.
Aku
memperhatikan mereka, namun minkyung yang melihatku, Memanggilku dan menyuruhku
menghampirinya. Langkahku berat namun aku beranikan diri seperti tidak ada
perasaan apapun.
“beruntunglah
kau disini jirin-ie, sepertinya aku ingin mengungkapkan ini sesegera mungkin.”
Minkyung mengucapkan sesuatu yang dapat aku tebak. Aku menatap wajah dongwoon
yang bingung. “aku menyukaimu dongwoon-ie.” Jantungku mulai berdegup kencang,
aku mengalihkan pandanganku dari minkyung.
“aku
menyukaimu sejak SMA, aku ingin kau mengetahui ini sebelum aku pergi dari dunia
ini.” Minkyung menghapus air matanya pelan.
“apa
maksudmu?” tanya dongwoon yang tidak mengerti ucapan minkyung. “jirin-ah!”
dongwoon memanggilku. Aku langsung menghapus air mataku dan menatapnya.
“minkyung
ingin menikah denganmu.” aku bertahan. Mengeluarkan ucapanku yang akhirnya aku
keluarkan walau rasanya lebih sakit dibanding biasanya.
“MWO!
Ini gila!” dongwoon mulai kesal dan menatapku tajam.
“gwencanha,
aku tahu ini aneh. Tapi, aku sudah merasa lebih baik karena aku telah
memberitahukan perasaanku untukmu saat ini dongwoon-ie, mian.” Minkyung
tersenyum. Ada gurat kesedihan diwajahnya ketika melihat dongwoon yang seolah
tidak menerimanya.
“berhenti
memanggil aku dongwoon-ie, dan jirin, jelaskan apa maksudnya ini padaku!” suara
dongwoon meninggi menatap minkyung dengan tatapan sinis lalu menatapku bingung.
“minkyung-ah,
sepertinya kau harus kembali kekamarmu. Disini sangat dingin.” Aku mendorong
kursi roda minkyung menuju kamarnya membiarkan dongwoon yang membisu.
*
“jelaskan
aku tentang semua ini.” Suara dongwoon meninggi ketika hampir 15 menit aku dan
dongwoon terdiam disebuah kursi taman yang sangat sepi malam ini.
“keinginan
jirin sebelum ia pergi adalah menikah denganmu.” ucapku pelan.
“jadi,
kau ingin aku menikah dengannya?” dongwoon menatapku masih dengan tatapan
sinis. Aku mengangguk tanpa suara. “maldo andwae!” dongwoon menggelengkan
kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“dongwoon-ie,
mengertilah sedikit. Bantu aku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, bahkan
minkyung sudah sering kambuh akhir akhir ini. Aku takut.” Aku meraih tangan dongwoon
dan menggenggamnya. Air mataku mulaih menetes bersamaan dengan perasaan hancur
yang aku rasakan saat ini.
“aku
tidak akan melakukannya.” Ucap dongwoon tetap pada pendiriannya.
“jika
kita berjodoh kita pasti akan menikah.”
“jadi
kau membiarkan aku menikah dengannya, menunggunya mati, seperti itu?” dongwoon
akhirnya menatapku.
“jangan
berkata seperti itu!” aku membentak dongwoon ketika mendengar perkataannya yang
benar-benar tidak tertata rapi keluar dari mulutnya.
“ma...
maaf.. aku tidak bermaksud.” Aku terdiam. “kita pulang, kita bicarakan ini lain
kali.” Dongwoon menarik lenganku. Menggenggamnya lalu melangkah menuju mobilnya
untuk kembali kerumah.
*
MINKYUNG POV
Malam
ini aku terbangun, rasa sakit yang tidak biasa seakan menendang bagaian sebelah
kiri dadaku. Aku mencoba menahannya sambil memeganginya. Namun sakit itu terus
menusuk dan tidak lekas meninggalkanku.
Aku
berusaha meraih obat yang tepat disebelah tempat tidurku. Tapi sia-sia, bukan
obat yang kudapatkan, tapi obat itu malah jatuh berserakan ke lantai.
Aku
mulai tidak kuat, aku merasakan cairan hangat diantara hidung dan bibirku
mengalir deras. Kepalaku mulai pusing dan mataku mulai remang. Seketika cahaya
kamarku yang tadinya terang berubah menjadi gelap dan semakin gelap.
*
AUTHOR POV
disebuah
koridor rumah sakit tepatnya didepan ruang UGD, beberapa orang dengan wajah
cemas menunggu. Ada kedua orang tua minkyung, dan kakak perempuannya. Ibu
minkyung tidak dapat menghentikan air matanya sementara ayah minkyung terus
mengusap punggung istrinya mencoba menenangkan.
“bagaimana
keadaan minkyung immonim?” dengan napas terengah-engah, ji rin yang belum
sempat pulang kerumahnya menghampiri kedua orang tua minkyung.
“ji
rin-ahhh, minkyung-iee.....” refleks, ibu minkyung memeluk ji rin. ji rin yang
hampir menangis membalas pelukan ibu minkyung sambil mengusap pelan punggung
perempuan paruh baya itu.
“gwencanha
immonim, min kyung akan baik baik saja.” Ji rin yang sangat sedih dengan
keadaan hari itu ikut menyekat air matanya.
Dongwoon
yang malam itu juga bersama ji rin terpaku melihat sebuah peristiwa memilukan
itu. pikiran dongwoon melayang tentang persahabatan kekasihnya dengan minkyung.
“dia
pasti sangat sedih, aku tidak pernah melihatnya menangis seperti itu kecuali
saat ibunya sakit.” Suara hati dongwoon pelan.
Selang
30 menit kemudian, seorang dokter yang sangat dikenal ji rin keluar dari
ruangan itu. ekspresi wajahnya terkesan tidak ada harapan pada diri minkyung.
“kalian
harus terus berdoa, kondisi minkyung sudah tidak ada harapan lagi.” Seketika
tangis ibu minkyung pecah di koridor itu mendengar ucapan dokter yang sudah
menyerah.
Bibir
ji rin bergetar, dirinya tidak kuat menahan tubuhnya sendiri. Ia hampir saja
terjatuh, namun dongwoon yang berada disebelahnya menahannya membuat jirin
kembali berusaha berdiri.
“kau
harus istirahat. Biar kuantar pulang.” Ucap dongwoon memperhatikan wajah jirin
yang berubah pucat.
“aku
ingin tetap disini.”
“kau
jangan keras kepala. Besok pagi kau bisa kembali kesini.”
*
DONGWOON POV
Pikiranku
terus melayang, mengingat ucapan ji rin dan ucapan minkyung yang terus
bergantian datang. Apa yang harus aku lakukan? Aku melihat semuanya tadi, wajah
sedih ji rin, keluarga minkyung, dan perasaan ji rin yang aku rasakan sangat
sakit.
Aku
tidak mungkin menikahi perempuan yang tidak pernah aku cintai sebelumnya.
Selama ini aku hanya bisa membayangkan dengan perempuan yang aku sangat cintai,
yoon ji rin.
“ahhhh.....”
aku mengacak-acak rambutku menghilangkan semua kakacauan ini. Mataku terus
kedepan melajukan mobilku cepat meninggalkan debu dijalan yang sepi di dini
hari ini.
*
Aku
membuka mataku ketika rasa hangat menyeruak di kamarku. Tidak seperti biasa
cahaya matahari dengan mudahnya masuk kedalam kamarku. Aku memperhatikan
sekelilingku mencoba mengalahkan rasa kantukku. Aku melihat ji rin berdiri
dihadapanku. Matanya memerah namun ia mencoba tersenyum.
“kenapa
kau datang sepagi ini?” tanyaku tersenyum mencoba membuatnya ikut melebarkan
senyumnya.
Jirin
diam, namun, ia mulai bertindak aneh. Ia menekuk kakinya dan berdiri dengan
lututnya dihadapanku sekarang. Aku tertegun, aku bahkan tidak pernah
membayangkan kejadian ini sebelumnya.
“menikahlah
dengan minkyung...” suaranya terdengar bergetar dan tertunduk.
Aku
membuka mataku lebar, lalu turun dari tempat tidurku, ikut berlutut dan
memegang kedua pundaknya dengan kedua tanganku.
“andwae!”
ucapku tegas.
“jebal,
dongwoon-ie, lupakan aku dan menikahlah dengannya. Umurnya sudah tidak panjang
lagi, dan... aku.... tidak bisa melihatnya menahan sakit seperti itu. hanya
dirimu yang bisa membuatnya sembuh.” Air mata ji rin menetes, mengalir deras
dan suaranya bergetar. Aku terdiam, tidak bisa berkata apa pun melihat wajahnya
yang pucat menangis dihadapanku.
“minkyung...
minkyung... lebih mencintaimu dibanding aku...” suaranya kembali bergetar.
“menikahlah dengannya demi diriku.” Isak tangisnya kembali terdengar. Aku benar
benar tidak sanggup menahan perasaanku, mataku ikut menahan air mataku yang
akan jatuh.
“ji
rin-ie, kau pernah berjanji, jika kita pasti menikah, kau, ingin melanggar
janji itu?” aku mencoba berkata pelan walau hatiku benar benar sakit saat aku
mengatakannya.
“kita
pasti menikah, kita... pas..ti menikah.. tapi dengan jodoh kita masing-masing.”
Jirin menyentuh pipiku mendekatkan wajahnya yang basah lalu mencium bibirku.
Lagi lagi aku hanya diam tidak berkata apapun. Perempuan ini benar benar
membuat hatiku bergetar.
“kita
menjenguk minkyung sekarang, sudah tidak ada waktu lagi, kau harus mengajaknya
menikah hari ini.” Ji rin menghapus air matanya sendiri, bangkit lalu menarik
lenganku meninggalkan kamarku.
*
AUTHOR POV
Dongwoon
dan jirin masuk kedalam ruangan yang berbeda dari biasanya. Beberapa tabung
oksigen dan alat pengukur jantung terlihat berdiri berdampingan disamping
tempat tidur minkyung. Minkyung terlihat sedang memperhatikan cahaya matahari
walau masker oksigen masih terpasan dihidungnya.
“minkyung-ah..”
suara ji rin yang terdengar serak membuat minkyung menoleh kearahnya.
Minkyung
tersenyum menatap ji rin dan dongwoon yang berdiri tepat dibelakang ji rin.
“kau
sudah tidak apa-apa?” ji rin bertanya seakan tidak terjadi apa-apa sebelum
mereka datang.
“aku
selalu baik-baik saja.” Minkyung tersenyum. “kau menangis? Kenapa matamu
merah?” minkyung memperhatikan wajah jirin.
“gwencanha,
ada yang ingin dongwoon katakan padamu.” Ji rin tersenyum lalu menatap dongwoon
seakan memberikan kode agar dongwoon mendekat.
Dongwoon
yang mengerti apa maksud ji rin, melangkah perlahan mendekat ketempat tidur
minkyung. Dongwoon memperhatikan wajah minkyung sebentar. Namun bukan
mengatakan sesuatu tapi ia malah menarik jirin keluar kamar tersebut.
“aku
tidak bisa.” Ucap dongwoon mengacak acak rambutnya.
“lakukanlah.”
Ji rin tersenyum menahan perih dihatinya lalu mengenggam tangan lelaki tampan
yang berdiri dihadapannya.
*
Satu minggu kemudian :::::
JI RIN POV
Aku
duduk didepan cermin dikamarku. Aku mengenakan sebuah dress berwarna merah muda
tanpa lengan. Aku memperhatikan bayangan diriku sendiri dicermin. Bayangan
penyesalan dan bayangan menyedihkan muncul dari wajahku yang muram.
Hari
ini, adalah hari yang benar benar tidak aku inginkan. Tapi, aku harus
melewatinya. Di hari pernikahan dongwoon dan minkyung ini, aku harus hadir. Tapi,
memoleskan make up diwajahku pun aku tidak bisa. Hanya bulir bulir kesedihan
yang menyatu membuat mataku memerah. Setelah hari itu, aku tidak menemui siapapun,
dongwoon maupun minkyung. Aku hanya berteduh didalam kamarku, menunggu hari ini
tiba. Tapi sekarang, aku hanya bisa berdoa agar hari ini berlangsung sangat
cepat bbahkan tidak terjadi sama sekali.
“kau
harus tampil cantik, ibu tahu, perasaanmu sakit, tapi setidaknya kau bisa
membuat minkyung tersenyum.” Tangan eomma merangkulku. Aku meneteskan air
mataku mendengar seluruh ucapannya.
Ibuku
benar, aku harus berdandan, memberikan kesan positif untuk mereka berdua.
Memberikan senyuman kepada mereka.
“eomma...”
ucapku memeluk ibuku tanpa bisa menahan air mataku.
“gwencanha,
menangislah. Ibu mengerti perasaanmu.” Aku benar benar merasakan pelukan hangat
seorang ibu saat ini.
DONGWOON POV
Hari
ini benar benar datang, aku menggenakan tuxedo hitam dan berdandan sangat rapi.
Hari pernikahanku tiba, tapi perasaan senang itu hilang seketika ketika aku
sadar aku bukan menikah dengan kekasihku, melainkan sahabat kekasihku yang
tidak pernah aku cintai sebelumnya.
“kau
sudah siap? Dongwoon-ie.” Suara seorang perempuan beserta genggamannya datang
bersamaan. Aku menatap wajah minkyung yang duduk dikursi roda sambil tersenyum.
“jangan
memanggilku dongwoon-ie.” Ucapku pelan. Menurutku panggilan itu hanya cocok
jika ji rin yang mengatakannya.
“jika
setelah ini aku meninggal, menikahlah lagi dengan orang yang benar-benar kau
cintai, tapi jika aku tetap hidup setelah ini, berusahalah untuk mencintaiku.
Aku akan membantumu.” Min kyung tersenyum mengusap pelan jemariku lalu pergi
meninggalkanku sendirian.
*
JIRIN POV
Aku
sampai ditempat pernikahan minkyung dan dongwoon. mataku masih merah dan aku
membiarkannya. Aku meninggalkan ibuku yang sedang menyapa keluarga son. Aku
menuju ke ruangan yang hanya ditempati oleh minkyung. Aku menatapnya dari
kejauhan. Ia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun putih yang sangat cocok
untuknya.
“ji
rin-ie....” suara minkyung antusias menyambutku yang berjalan menghampirinya.
Aku
tersenyum benar-benar terpaksa lalu memeluknya, “gomawo.” Ucapnya memelukku
sangat erat. “kau sangat cantik.” Ia memperhatikanku yang memakai dress pesta
untuk pertama kalinya.
“kau
lebih cantik.” Jawabku lagi lagi memaksa tersenyum. “aku akan menunggumu
didepan, sebentar lagi acara ini akan dimulai. Kau jangan gugup.” Ucapku
meninggalkan minkyung dengan perasaan sakit yang masih terasa.
Selang
15 menit, acara pun dimulai, aku duduk dengan ibuku dan kakak minkyung. Aku
melihat dongwoon yang berjalan bersama ayahnya menuju kepelataran. Aku
menatapnya, wajahnya benar benar sangat tampan. Mata kami berdua bertemu, aku
berusaha tersenyum namun air mataku hampir kembali menetes. Cepat, ibuku
menggenggam tanganku menenangkanku.
Setelah
dongwoon sampai kepelataran, minkyung yang masih duduk dikursi roda diantar
oleh ayahnya. Aku tidak memperhatikan minkyung lagi aku hanya menunduk berharap
acara ini selesai.
“son
dongwoon, apakah kau bersedia menerima kang minkyung menjadi istrimu sepanjang
hidupmu, saat kau sedih, susah, senang, kau akan selalu bersamanya?” suara itu
terdengar ditelingaku. Aku benar benar tidak kuat lagi. Aku bangkit
meninggalkan ruangan itu walau ibuku sempat menahanku.
*
AUTHOR POV
Ji
rin masih duduk ditaman tempat upacara pernikahan berlangsung. Upacara itu baru
saja selesai. Beberapa orang perlahan meninggalkan tempat tersebut. Suara-suara
sumbang mulai terdengar ditelinga ji rin.
“aku
kira dongwoon akan menikah dengan jirin”
“mereka
kan sudah berpacaran cukup lama, mereka juga cocok, tapi dongwoon malah menikah
dengan mereka...”
“yang
aku dengar minkyung sakit keras...”
Suara-suara
itu terdengar hingga ketelinga ji rin. namun ji rin hanya bisa melamun sambil
memperhatikan orang-orang yang pergi.
“disini
sangat dingin.” Dongwoon datang lalu memakaikan jas yang ia pakai kepundak ji
rin. ji rin hanya tersenyum. “aku masih mencintaimu, dan akan terus
mencintaimu.” Dongwoon memegang pundak ji rin.
“berusahalah
menyukai minkyung, minkyung orang baik, dia cantik, dia pandai memasak, dia
bisa membantumu dalam segala hal... di...a.....” air mata ji rin kembali
menetes. Ia tidak dapat berkata kata lagi. Ia kembali terisak menahan
perasaannya yang terasa benar benar sakit.
“ijinkan
aku menemuimu selama aku belajar untuk menyukai perempuan itu.” suara dongwoon
juga ikut bergetar. Tangannya meraih dagu ji rin, menatap matanya lalu mencium
lembut bibir ji rin. ji rin hanya diam, memejamkan matanya menikmati bibir
dongwoon yang mungkin adalah ciuman terakhirnya itu. tangan jirin meraih tangan
kanan dongwoon dan menggenggamnya.
Tidak
jauh dari mereka, minkyung yang masih duduk dikursi rodanya memperhatikan
dongwoon dan jirin. Pikirannya bertanya tanya tentang apa yang mereka
bicarakan.
“minkyung-ah.”
Suara ibu jirin membuat minkyung memutar kursi rodanya menjadi menghadap ibu
jirin.
“jangan
pernah temui ji rin setelah ini ya.” Suara ibu jirin terdengar bergetar.
Minkyung yang tidak mengerti hanya mengangguk pelan. “ini demi ji rin.”
*
3
BULAN KEMUDIAN::::::
JIRIN POV
Aku
mengingat semuanya. Tiga tahun lalu, setelah pernikahanku, entah kenapa sejak
saat itu jirin mengganti nomer ponselnya, tidak pernah menghubungiku bahkan
tidak lagi datang kerumahku. Sementara dongwoon, ia sering menghubungin, bahkan
selama 2 tahun setelah ia menikah dengan minkyung, ia sering mengajakku pergi
“berkencan” atau hanya menghabiskan waktu di cafe biasa tempat kami sering
minum kopi bersama. Bahkan dongwoon juga sering mengajakku tidur bersama
dikamarnya walau tanpa sepengetahuan keluarganya, dan ibuku.
Namun
dua tahun itu sudah berakhir ketika keajaiban datang. Keajaiban Tuhan yang
bersatu dengan kekuatan cinta, 7 bulan yang lalu tepatnya, dongwoon mengabariku
jika penyakit minkyung sembuh total. Seluruh sel kangker di hatinya menghilang.
Aku benar benar kaget, hingga aku yang tidak percaya menanyakan langsung ke
dokter yang menanganinya. Ucapan dongwoon benar, dokter itu menjelaskan setelah
mereka menikah, minkyung selalu rajin meminum obat dan mengikuti terapi.
Dua
bulan yang lalu, dongwoon menemuiku lagi. Dia bertanya padaku apa yang harus
dia lakukan. Aku hanya tersenyum lalu berkata, sepertinya rumah tangga kalian
akan lebih baik jika ada seorang bayi mungil diantara kalian. Saat itu aku
melihat wajah dongwoon yang tadinya tersenyum berubah pucat.
“kau
pasti sudah mencintainya sekarang. Jadi, lakukanlah kewajibanmu.” Ucapku saat
itu walau dengan hati yang masih belum menerima semuanya.
Sejak
saat itu, aku tidak bertemu dongwoon lagi. Hingga tadi sore aku mendengar bahwa
minkyung hamil. Perasaan senang berkecamuk menjadi satu dengan perasaan
kehilangan.
Aku
mulai lemah, menerima kenyataan seperti ini begitu berat. Sekarang hanya aku
yang hidup sendirian seperti ini. Menahan perih sendirian. Hanya kamar bisu ini
dan sebuah kursi roda yang menemani sisa hari-hariku selanjutnya.
*end*
No comments:
Post a Comment