Laman

November 30, 2011

taxi driver and me (oneshoot)

cast: BEAST LEE GI KWANG
(BGM: TABLO - AIRBAG)

Malam memang sudah beranjak begitu cepat. jam ditanganku menunjukan pukul 2 dini hari. Aku keluar dari sebuah gedung lalu menghentikan sebuah taksi yang menghampiriku melewati jalanan yang licin tertutup salju yang basah. Aku melangkah masuk kedalam taksi lalu menyandarkan punggungku yang terasa lelah. Supir taksi melajukan taksinya perlahan seakan tahu tujuanku. Namun sepertinya supir taksi ini tahu karena aku pernah menumpang taksi dengan supir yang sama sebelumnya.

“kembali kerumah, gikwang-ah?” tanya supir taksi itu. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil memperhatikan jalanan dingin yang sepi dan tenang. Beberapa mobil melintas, lampu lampu menari senang menjelang natal. Ahh, natal. Aku membenci natal semenjak tahun lalu. Aku merayakannya sendirian tanpa seseorangpun. Semua orang bersuka ria dengan semua kerabat mereka tapi aku hanya menyalakan sebuah lilin ditengah dinginnya malam natal lalu berdoa agar aku tabah menjalani hidup lalu terlelap malam itu. Ahh terlupakan.

Aku kembali memperhatikan jalanan ketika aku tidak bisa memejamkan mataku malam ini. Aku memperhatikan seorang lelaki yang sepertinya mabuk berjalan sempoyongan ditrotoar. Aku mengingat kejadian itu, kejadian yang menyulitkan bagiku dan ibu serta adikku. Saat itu, masih dimusim dingin aku kembali pulang terlambat. Aku mampir sebentar kesebuah toko hadiah dan ingin membelikan sesuatu untuk adik perempuanku. Ketika sampai dirumah, aku merasa aneh ketika dari kejauhan lampu ruang tamu rumahku masih menyala. Dengan perlahan aku memasuki rumah, suara perempuan menangis terdengar ditelingaku. Itu suara ibu. Dengan langkah cepat aku menghampiri ibu yang sudah tersungkur dan bersimbah darah. Aku melihat ayahku telah memukul ibuku menggunakan botol minuman keras yang ia pegang. Tanpa pikir panjang aku langsung menolong ibu, tapi ibu hanya tersenyum dan berkata ayah sedang mabuk. Aku tidak bisa terima itu,tapi aku pun tidak bisa berbuat apapun. Aku membiarkan ayahku pergi. Dan semenjak kejadian itu, aku tidak pernah tahu dimana ayahku sekarang.

“bagaimana kabar ibumu?” suara supir taksi yang berkumis itu membangunkan lamunanku. Aku menatapnya lalu kembali menatap keluar.

“dia baik.” Jawabku pelan walau baik yang aku ucapkan bukan berati baik secara keseluruhan.

Beberapa hari setelah kejadian pemukulan itu, adik perempuanku jatuh sakit. Bukan sebuah sakit yang biasa, tapi sakit yang membuat ibuku selalu menangis tiap malam. Adikku menderita kangker hati stadium lanjut dan sampai sekarang masih dirawat dirumah sakit. Itu membuat ibu selalu saja murung memikirkan adikku dan biaya sewa rumah sakit dan pengobatan yang selalu kami tebus tiap satu minggu sekali. Bahkan aku sering mencari pekerjaan tambahan untuk membantu ekonomi ibuku, namun itu masih belum cukup hingga dua hari yang lalu, adikku menghembuskan napas terakhirnya. Itu membuat ibuku terpukul, ibuku sering menangis dan aku sangat iba melihatnya. Tepat kemarin, aku membawanya ke psikiater dan ternyata ibuku mengalami gangguan jiwa. Dengan sangat terpaksa aku membiarkan ibuku tinggal dipanti kejiwaan untuk memulihkan jiwanya. Menyakitkan bagi diriku, orang yang aku sayangi bahkan tidak mengenaliku. Aku sempat jatuh menyesal dan hampir mengakhiri diriku saat itu juga, tapi seorang perempuan menghentikanku.

“sudah sampai..” supir taksi itu menghentikan mobilnya tepat didepan rumahku. Entah kenapa aku berniat pergi ketempat lain.

“kau bisa mengantarku kesungai han?” tanyaku pelan. Supir taksi itu tersenyum lalu memutarbalik arah mobilnya.

Perempuan itu, perempuan yang sudah lama aku kenal namun aku baru menemukan rasa aneh dihatiku beberapa hari yang lalu. Aku menyukainya. Dia yang selalu ada untukku disaat aku membutuhkan seorang teman yang bisa membantu menghilangkan rasa kesal dihatiku. Tapi suatu hal yang aneh terjadi, dia menangis menghampiriku ketika aku sedang berada dipinggir sungai han. Matanya merah. Dia menangis. Saat itu tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali mengusap punggungnya dan menenangkannya. Dia mulai bercerita, ibu dan ayahnya bercerai hari itu. Suaranya yang terbata mengguratkan kesedihan yang amat dalam. Namun saat itu aku menasehatinya dan dia pun tersenyum kembali. Sayang, keesokan harinya, tubuhnya ditemukan tidak bernyawa didalam kamarnya. Aku kembali terpuruk, jatuh dan merasakan rasa kesakitan yang amat dalam.

“sudah sampai.” Ucap supir taksi itu. Aku memperhatikan sungai han yang sepi lalu mengeluarkan beberapa uangku.

“kembaliannya kau ambil saja.” Ucapku berusaha tersenyum walau aku tahu supir taksi itu melihat mataku yang nanar. Aku turun dari taksi itu lalu berdiri dipinggir sungai han. Kenapa semuanya meninggalkanku? Apa aku memang tidak ditakdirkan untuk hidup bersama dengan orang yang aku sayangi? Apa kehidupanku akan selalu buruk. Aku tidak bisa hidup sendiri aku iri pada orang lain yang mempunyai orang yang mereka sayang...

“jangan pernah berpikir kalau kehidupanmu sulit.” Suara supir taksi itu terdengar jelas. Ia berdiri disebelahku sambil menepuk punggungku. Aku menatapnya sambil mengusap air mataku yang tanpa sadar menetes. “kau tahu, bersyukurlah kau bisa hidup sampai sekarang, punya pekerjaan dan akan sukses nantinya. Kau tahu, dulu aku juga sepertimu, ayah dan ibuku meninggal kecelakaan, dan istriku pergi meninggalkanku hanya karena aku supir taksi tapi kau lihat kan? Aku bisa hidup sampai sekarang, dibutuhkan orang lain dan punya banyak teman. Aku yakin kau pasti punya banyak teman yang sayang dan membutuhkanmu tapi kau belum menyadari itu. Dan satu lagi, percayalah jika ibumu pasti akan sembuh dan menemani kehidupanmu lagi esok.” Supir taksi itu tersenyum sumringah lalu kembali menuju taksinya. Aku terdiam memikirkan semua ucapannya. Aku mengungat semua ucapanku, bosku, rekan kerjaku dan beberapa kawab SMAku semua masih mengingatkanku dan bertanya tentangku, memberiku kado saat ulangtahun dan mengucapkan selamat natal. Aku tidak sendirian. Ahh.

“ajusshi!” teriakku sambil melambaikan tangan. Supir taksi itu berbalik kearahku. “khamsahamnida!” ucapku tersenyum.

“hem, lanjutkan hidupmu.”
*END*

November 6, 2011

like that little road (oneshoot)


Aku menatapnya. Dalam hati bertanya-tanya, siapa wanita yang selalu saja melewati jalan kecil didepan rumahku ketika gerimis datang menjemput. Wanita itu selalu saja memakai payung putih transparan dan sebuah dress putih. Ia pergi kearah jalan sempit yang aku pun tidak tahu ada apa disana. Aku sangat penasaran dengan perempuan yang selalu tersenyum ketika aku memperhatikannya dari jendela kamar rumahku. Matanya tajam, namun senyumnya terus merekah hingga tubuhnya jauh dari pandanganku.

“kau sedang apa?” tanya yoseob membuyarkan semua pandanganku. Aku sedikit kaget ketika yoseob ikut memperhatikan keluar jendela. Wanita itu menghilang. “hyunseung-ie, apa yang kau lihat tadi?” tanya yoseob dengan nada penasaran.

“tidak ada.” Jawabku santai lalu mengambil blazerku dan turun dari kamarku. Aku tahu yoseob mengikutiku sehingga aku tidak perlu menyuruhnya untuk keluar kamarku.

*

Rasa lelah menggelayuti tubuhku ketika aku baru saja pulang dari pekerjaanku sebagai mahasiswa seni disebuah perguruan tinggi di pusat kota Seoul ini. Hawa dingin sisa gerimis pagi tadi masih berusaha masuk lewat celah celah kamarku. Terasa sepi rumah ini ketika yoseob kembali kekediamannya setelah ia menginap semalaman kemarin.

Rasa dingin benar benar menusuk tubuhku, aku mengambil jaket yang terletak dipinggung kursi didepan jendela yang masih terbuka lebar. Aku sedikit melirik keluar jendela itu. Jalan kecil didepan rumahku terlihat remang namun terlihat terang ketika aku melihat perempuan itu berjalan menuju rumahnya sambil mengusap lengannya yang terlihat kedinginan. Tanpa sadar, aku mengambil jaketku lalu berlari menuju perempuan itu.

“kau terlihat kedinginan, kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil memakaikan jaketku kepunggung perempuan itu. Perempuan itu hanya tersenyum menatapku.

“kau, jang hyunseung?” tanya perempuan itu pelan. Sejak kapan perempuan ini tau namaku. Suaranya saat menyebut namaku sedikit bergetar tanda ia sangat kedinginan.

“hmm.” Jawabku sambil mengangguk.

“gomawo.” Ucapnya pelan lalu meneruskan perjalanannya.

“kau tidak mau mampir? Hari sangat dingin.” Tanyaku dengan suara sedikit kencang. Perempuan itu menoleh kearahku ia hanya tersenyum dan menggeleng.

*

“kau gila? Mana ada perempuan tengah malam keluar rumah? Memakai rok putih katamu? Mungkin hantu.” Ucap yoseob ketika aku baru saja selesai menceritakan tentang wanita itu.

“tapi tiap pagi atau sore aku melihatnya pergi kearah barat jika gerimis datang.” Ucapku sedikit tidak setuju dengan ucapan yoseob.

“sekarang pertanyaannya, ada apa disebelah barat rumahmu? Kau tidak pernah mengikuti jalan kecil yang ada didepan rumahmu hingga keujung?” tanya yoseob dengan tatapan serius. Benar pertanyaan yoseob, hingga sekarang umurku, aku tidak pernah mengikuti jalan kecil itu hingga keujungnya. Ada apa disana? Hingga membuat perempuan itu selalu saja datang kesana setiap gerimis tiba.

“kau menyukai perempuan itu atau hanya penasaran ada apa diujung jalan itu?” tanya yoseob menghancurkan semua lamunanku.

“aku... entahlah, perempuan itu selalu saja datang dipikiranku.” Jawabku pelan.

*

Hujan cukup deras hari ini. Aku baru saja selesai dari urusanku di kampus. Ketika aku memasuki kamar, aku menemukan jaket coklatku terlipat rapi diatas tempat tidurku. Kenapa bisa ada disini? Gumamku dalam hati. Aku langsung turun mencari ibuku.

“eomma, jaket yang ada ditempat tidurku siapa yang meletakannya disana?” tanyaku bingung.

“ohh, eomma yang meletakannya. Tadi seorang perempuan mengembalikannya, katanya itu punyamu.” Jawab eomma dengan nada santai.

“apa perempuan itu berambut panjang dan memakai rok putih?” tanyaku mencari tahu.

“ne.” Jawab eomma cepat. perempuan itu datang kerumahku.

“eomma tahu siapa namanya?” tanyaku cepat. eomma hanya menggeleng yang aku tahu berarti dia tidak mengetahui nama perempuan itu.

*

Sudah satu minggu semenjak perempuan itu mengembalikan jaketku, ia tidak terlihat melewati jalan kecil itu lagi. Kemana dia? Ahh, aku semakin penasaran padanya dan ada sedikit rasa rindu yang muncul dari dalam hatiku. Aku menyukainya? Sepertinya tidak lagi. Aku benar benar menyukainya sekarang.

Suara hujan semakin terdengar. Aku masih terdiam berdiri memperhatikan jalan kecil itu. Perempuan itu datang, ia berjalan pelan melewati depan rumahku. Tanpa pikir panjang, aku berniat mengikutinya. Dengan perlahan, aku mengikutinya. Jarak yang cukup jauh aku lewati ditengan hujan yang perlahan berubah menjadi gerimis kecil. Perempuan itu masih berjalan hingga dikanan kirinya bukan rumah melainkan taman taman yang hijau. Aku baru pertama kali melihat taman seindah ini dipinggiran kota. Hingga jalan kecil ini menghilang, aku melihat sebuah danau yang airnya jernih didepanku. Perempuan itu meletakan payungnya diatas tanah. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak dibawah pohon besar dipinggir danau. Terlihat seperti makanan. Ia menaburkannya keatas danau. Pikiranku semakin tidak mengerti, apa yang ia lakukan disaat gerimis hanya memberi makan ikan didanau ini? Aku berniat menghampirinya. Aku berjalan pelan lalu duduk disebelahnya.

“kau kesini setiap hujan?” tanyaku pelan. Lagi-lagi perempuan itu hanya tersenyum. “hanya memberi makan ikan?” Tanyaku lagi dengan sedikit tatapan bingung. Perempuan itu menggeleng.

Setelah kami berdua terpaku dalam diam, perempuan itu sedikit membuka bibirnya lalu sedikit bercerita. “4 tahun yang lalu, tempat ini hampir dijadikan gedung bertingkat.” Bukanya pelan aku memperhatikannya dengan seksama. “namun aku dan mantan kekasihku bersihkukuh untuk terus mempertahankan tempat indah ini hingga tetap seperti ini sampai sekarang.” Mantan kekasih? Apa mereka sudah putus sejak saat itu? Pikiranku terus berkelabut dengan pertanyaan itu, namun aku tetap tenang.

“mantan kekasih katamu?” tanyaku pelan melemparkan makanan kearah danau.

“iya, mantan kekasihku. Dan kau tahu, semua ini dia buat dan persembahkan untukku.” Jawabnya santai. Aku semakin bingung dengan ucapannya. Sangat jarang ada seorang perempuan yang masih menyimpan sesuatu dari mantan kekasihnya. “dan pasti kau bertanya-tanya kenapa setiap gerimis aku selalu datang kesini, kau tahu, mantan kekasihku selalu bilang kalau tempat ini akan terlihat indah jika diguyur hujan dan terbukti semua itu benar.”

“kau sangat menyayangi mantan kekasihmu itu?” tanyaku saat aku berpikir masih ada kesempatan untukku mendekatinya. Perempuan itu mengangguk pelan.

“lalu, kenapa kau dengan mantanmu berpisah?” tanyaku yang terdengar seperti pertanyaan yang sangat bodoh. Perempuan itu hanya menatapku sayu.

“eomma!!!” suara anak kecil membuatku membalikan badanku. Seorang anak lelaki sedikit berlari menghampiri perempuan yang duduk disebelahku. Aku tidak mengerti dengan panggilan eomma yang tertuju ke perempuan itu. Pikiranku semakin kacau. Apa mungkin....

“dia anakku, namanya hyun joo. Hyun joo, perkenalkan dia jang hyun seung.” Semua perkataan perempuan itu membuatku merasakan hal yang aneh didadaku. Perempuan ini sudah punya anak, lalu mantan kekasihnya adalah... “sekarang dia sudah tidak lagi menjadi mantan kekasihku, dia suamiku.” Kata terakhir yang ia ucapkan membuat dadaku sedikit sakit.

*

“hyun seung-ie, lihat artikelmu dipajang di majalah kampus. Hal yang sudah kau tunggu tunggu sejak 2 tahun yang lalu...” teriak yoseob membuatku membuka mataku perlahan. Cahaya matahari masuk tepat dikepalaku. Terasa hangat.

Aku mengambil majalah kampus yang ada ditangan yoseob, artikelku yang berjudul perempuan dan hujan menarik perhatian para mahasiswa dikampusku. Tak kurasa aku mengguratkan senyum bahagiaku.

“rasanya aku baru melihat senyummu sejak 3 bulan lalu.” Ucap yoseob menepuk dadaku. “kajja, kita akan terlambat menerima kata selamat dari editor jika tidak kekampus sekarang.” Yoseob keluar dari kamarku.

Aku masih terdiam sesekali memperhatikan artikelku kembali. Perempuan itu, perempuan yang sama dengan perempuan yang 3 bulan lalu membuat hatiku sedikit remuk. Tapi, perkataannya 3 bulan lalu membuatku bangkit dan sadar akan duniaku.

“aku tahu namamu jang hyunseung, karena ibumu berteman dekat dengan ayah daru hyun joo. Dia selalu menceritakanmu kepada keluarga kami, kau suka menulis kan? Tapi kau sempat berhenti menulis karena kau berpikir tulisanmu hanya sampah yang keluar dari otakmu. Aku hanya ingin memberikanmu sesuatu, teruslah berusaha sama seperti jalan kecil yang baru kau lewati ini. Karena jika kita tidak meneruskannya dan berhenti ditengah kau tidak akan tahu betapa indahnya sesuatu yang ada diakhir jalan itu. Aku yakin suatu saat nanti kau bisa menjadi penulis terkenal.”

*end*